Minggu, 17 Juni 2012

Pengembangan Silabus Bahasa dan Model Pembelajaran Bahasa Inggris Tingkat SMP

LIA MULIAWATI- ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT-A SMT IV
FINAL EXAMINATION

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkatn aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan riil di lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran ekonomi. Masih banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru.
roses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif.
Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.
Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.
.
2.      Rumusan Masalah
1)      Sebutkan macam-macam desain syllabus menurut Dubin?
2)      Jelaskan pengertian Pembelajaran  bahasa menurut teory Siti Wachdia!
3)      Standar kompetensi apa saja dalam  Pedoman Pengembangan Syllabus menurut Depdiknas?
4)      Jelaskan
3.      Tujuan
Tujuan pembelajaran ini untuk mengetahui perkembangan syllabus mengetahui macam-macam desain syllabus  dan pembelajaran bahasa dan pada acuan Standar kompetensi yang berlaku.
















BAB II
PEMBAHASAN
1)       A. Course Design: Developing Program and Materials for Language Learning” (Fraida Dubin an Elite Olsthain)
1.    Focusing on Language Content in a communicative syllabus
a.    Konsep dan pengertian
      Dalam sebuah silabus yang komunikatif, dimensi isi bahasa telah meluas untuk memasukkan arti notional dan fungsional bersamaan dengan struktur, situasi dan tema. Dalam Pengintegrasian arti notional dan fungsional terhadap grammar, isi tematic, dan lexis, saran-saran dipresentasikan dalam bagaimana untuk mengintegrasikan berbagai macam element perluasan isi pada silabus yang komunukatif. Apa yang diperlukan adalah untuk mengembangkan bentuk-bentuk inventoris terpisah, gagasan (konsep), fungsi-fungsi, tema-tema dan kosa kata untuk audien tertentu. Dalam pandangan discrete dan holistic: the horns of dilema, itu ditunjukkan bahwa keberadaan dilema dalam tiga dimensi pada silabus: isi bahasa, proses, dan produk.
Istilah silabus dapat didefinisikan sebagai "Garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran" (Salim, 1987: 98). Istilah silabus digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum berupa penjabaran lebih lanjut dari SK dan KD yang ingin dicapai, dan materi pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari peserta didik dalam rangka mencapai SK dan KD. Seperti diketahui, dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran, terlebih dahulu perlu ditentukan SK yang berisikan kebulatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang ingin dicapai, materi yang harus dipelajari, pengalaman belajar yang harus dilakukan, dan sistem evaluasi untuk mengetahui pencapaian SK. Dengan kata lain, pengembangan kurikulum dan pembelajaran menjawab pertanyaan (1) Apa yang akan diajarkan (SK, KD, dan Materi Pembelajaran); (2) Bagaimana cara  melaksanakan kegiatan pembelajaran, metode, media); (3) Bagaimana dapat diketahui bahwa SK dan KD telah tercapai (indikator dan penilaian).
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
Silabus bermanfaat sebagai pedoman dalam pengem­bangan pembelajaran lebih lanjut, seperti pembuatan rencana pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian. Silabus merupakan sumber pokok dalam penyusunan rencana pembelajaran, baik rencana pembelajaran untuk satu SK maupun satu KD. Silabus juga bermanfaat sebagai pedoman untuk merencanakan pengelolaan kegiatan pembelajaran, misalnya kegiatan belajar secara klasikal, kelompok kecil, atau pembelajaran secara individual. Demikian pula, silabus sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem penilaian. Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi sistem penilaian selalu mengacu pada SK, KD, dan indikator yang terdapat di dalam silabus.

b.     Prinsip-prinsip pembelajaran dan pengembangan syllabus
1.               Hadir bentuk linguistik sistematis untuk memungkinkan peserta didik untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dasar dari bahasa. Selanjutnya, penekanan khusus harus ditempatkan pada perbedaan Interlingua berkaitan dengan realisasi gagasan. 
2.                  Gunakan konteks komunikatif untuk memungkinkan peserta didik untuk berinteraksi dalam berbagai fungsi bahasa yang komunikatif. Sekali lagi, penekanan harus ditempatkan pada sosial budaya bahasa fitur khusus untuk menghasilkan ucapan-ucapan yang menghargai latar belakang budaya di antara banyak kemungkinan pilihan yang tersedia untuk mengekspresikan bahan fungsi harus dimulai dengan mereka yang sangat sering dalam pidato asli dan hanya secara bertahap diperluas ke meliputi lebih jarang sekali (Canale dan Swain 1980) 
3.      Menggunakan berbagai jenis teks baik dalam bentuk lisan dan tertulis dalam rangka untuk mengembangkan kemampuan komunikatif dalam semua kemampuan bahasa, kecuali panggilan khusus untuk penekanan pada satu atau dua kemampuan bahasa bukan pada semua.
Untuk memperoleh silabus yang baik, dalam penyusunan silabus perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1.      Ilmiah
Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Di samping itu, strategi pembelajaran yang dirancang dalam silabus perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran dan teori belajar.
2.      Relevan
Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual peserta didik.  Prinsip ini mendasari pengembangan silabus, baik dalam pemilihan materi pembelajaran,  strategi dan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, penetapan waktu, strategi penilaian maupun dalam mempertimbangkan kebutuhan media dan alat pembelajaran. Kesesuaian antara isi dan pendekatan pembelajaran yang tercermin dalam materi pembelajaran dan kegiatan pembelajaran pada silabus dengan tingkat perkembangan peserta didik akan mempengaruhi kebermaknaan pembelajaran. 
3.      Sistematis
Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi. SK dan KD merupakan acuan utama dalam pengembangan silabus. Dari kedua komponen ini, ditentukan indikator pencapaian, dipilih materi pembelajaran yang diperlukan, strategi pembelajaran yang sesuai, kebutuhan waktu dan media,  serta teknik dan instrumen penilaian yang tepat untuk mengetahui pencapaian kompetensi tersebut.
4.    Konsisten
Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara KD, indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, serta  teknik dan  instrumen penilaian. Dengan prinsip konsistensi ini,  pemilihan materi pembelajaran, penetapan strategi dan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, penggunaan sumber dan media pembelajaran, serta penetapan teknik dan penyusunan instrumen penilaian semata-mata diarahkan pada pencapaian KD dalam rangka pencapaian SK.
5.    Memadai
Cakupan indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian KD.  Dengan prinsip ini, maka tuntutan kompetensi harus dapat terpenuhi dengan pengembangan materi pembelajaran dan kegiatan pembelajaran yang dikembangkan. Sebagai contoh, jika SK dan KD menuntut kemampuan menganalisis suatu obyek belajar, maka indikator pencapaian kompetensi, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan teknik serta instrumen penilaian harus secara memadai mendukung kemampuan untuk menganalisis.
6.    Aktual dan Kontekstual
Cakupan indikator, materi pembelajaran, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi. Banyak fenomena  dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi dan dapat mendukung kemudahan dalam menguasai kompetensi perlu dimanfaatkan dalam pengembangan pembelajaran.  Di samping itu, penggunaan media dan sumber belajar berbasis teknologi informasi, seperti komputer dan internet perlu dioptimalkan, tidak hanya untuk pencapaian kompetensi, melainkan juga untuk menanamkan kebiasaan mencari informasi yang lebih luas kepada peserta didik.
7.    Fleksibel
Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan kebutuhan masyarakat. Fleksibilitas silabus ini memungkinkan pengembangan dan penyesuaian silabus dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
8.    Menyeluruh
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Prinsip ini hendaknya dipertimbangkan, baik dalam mengembangkan materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, maupun penilaiannya. Kegiatan pembelajaran dalam silabus perlu dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik memiliki keleluasaan untuk mengembangkan kemampuannya, bukan hanya kemampuan kognitif saja, melainkan juga dapat mempertajam kemampuan afektif dan psikomotoriknya serta dapat secara optimal melatih kecakapan hidup (life skill).
c.     Langkah-langkah atau prosedur pembelajaran dan pengembangan syllabus
·         Analysis(analisa kebutuhan, identifikasi masalah, dan identifikasi tugas pembelajaran)
·         Design(merumuskan tujuan pembelajaran yang SMAR; specific, measurable, applicable, and realistic, menyusun tes, memilih strategi, metode, dan media pembelajaran yang tepat)
·         Development(mewujudkan desain tadi dalam bentuk nyata, misalnya dengan mencetak modul, kemudian mengembangkan modul dengan sebaik mungkin).
·         Implementation(langkah nyata menerapkan sistem pembelajaran yang kita buat.
·         Evaluation(sudah efektifkah sistem pembelajaran yang kita kembangkan.
Prinsip perkembangan syllabus
a.        Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Mengkaji SK dan KD mata pelajaran sebagaimana tercantum pada SI, dengan  memperhatikan hal-hal berikut:
1.      urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi, tidak harus selalu sesuai dengan urutan yang ada di SI dalam tingkat;
2.      keterkaitan antara SK dan KD dalam mata pelajaran;
3.      keterkaitan antar KD pada mata pelajaran;
4.      keterkaitan antara SK dan KD antar mata pelajaran.

b.        Mengidentifikasi Materi Pembelajaran
       Mengidentifikasi materi pembelajaran yang menunjang pencapaian KD dengan mempertimbangkan:
·         potensi peserta didik;
·         karakteristik mata pelajaran;
·         relevansi dengan karakteristik daerah;
·         tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan spritual peserta didik;
·         kebermanfaatan bagi peserta didik;
·         struktur keilmuan;
·         aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
·         relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan
·         alokasi waktu.

c.         Melakukan Pemetaan Kompetensi
2.       Mengelompokkan SK, KD dan materi pembelajaran
3.       Menyusun SK, KD sesuai dengan keterkaitan

d.        Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian KD. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. 
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah:
·         Disusun untuk memberikan bantuan kepada para pendidik (guru), agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.
·         Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik  secara berurutan untuk mencapai KD.
·         Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan hierarki konsep materi pembelajaran. 
·         Rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar peserta didik, yaitu kegiatan peserta didik dan materi.

e.         Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi
Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.
Kata Kerja Operasional (KKO) indikator dimulai dari tingkatan berpikir mudah ke sukar, sederhana ke kompleks, dekat ke jauh, dan dari konkret ke abstrak (bukan sebaliknya).
Kata kerja operasional pada KD benar-benar terwakili dan teruji akurasinya pada deskripsi yang ada di kata kerja operasional indikator.

f.         Penentuan Jenis Penilaian
Penilaian pencapaian KD peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.

g.        Menentukan Alokasi Waktu
Penentuan alokasi waktu pada setiap KD didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah KD, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan KD. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai KD yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam.

h.        Menentukan Sumber Belajar
Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. Penulisan buku sumber harus sesuai kaidah yang berlaku dalam Bahasa Indonesia.
Penentuan sumber belajar didasarkan pada SK dan KD serta materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.

2.    Focusing on Process: material that deal with socio-cultural appropriateness
a.  Konsep dan pengertian
Focusing on Process: material that deal with socio-cultural appropriateness atau dalam bahasa Indonesia adalah fokus pada proses: material yang berkaitan dengan sosio budaya yang tepat berarti materi-materi yang diberikan dalam proses pembelajaran sangat berkaitan dengan nilai budaya dalam masyarakat yang tepat. Faktanya, hubungan antara jenis latihan dan isi sosial budaya baru saja mulai untuk dijelajahi. Berurusan dengan norma-norma sosial dalam bahasa mungkin akan lebih cocok, namun, untuk proses holistik daripada berfokus pada elemen diskrit.
Dalam Communicative Learning, factor budaya juga sangat ditekankan. Sehingga beberapa prinsip dan metode pembelajaran diterapkan dalam system ini.
-          Sosiodrama dan Bermain Peranan (Role play Method)
Role Play atau bermain peran adalah metode pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untk mengkreasi peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang. Bermain peran (Role play) di dalam kelas, seperti yang diungkapkan oleh Ladousse (dalam Budden) dapat menambah variasi dalam mengajar, juga merupakan perubahan langkah dan kesempatan dalam pembentukan bahasa. Bermain peran (role play) atau kegiatan kreatif dan imajinatif semacam ini akan merangsang mahasiswa untuk berimajinasi dan menantang mereka untuk berfikir dan berbicara (Sadow, dalam Tompkins; 1998). Dalam bahasa Inggris, role play memiliki beberapa istilah yang memiliki arti yang hampir sama, yakni simulation, game, role play, simulation-game, role-play simulation dan role-playing game (Crookall dan Oxford dalam Tompkins; 1998). Model latihan role play dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu individual role-playing exercises dan interactive role-playing exercises.
-                      Individual Role-Playing Exercises
Salah satu contoh kegiatan pada model pertama ini adalah; mahasiswa meneliti dan menulis atau mempresentasikan masalah dengan cara dan sudut pandang karakter yang harus diperankan. Inilah yang menjadi tantangan dari model ini.
-                      Interactive Role-Playing Exercises
Model kedua yang paling umum dilakukan adalah drama, debat atau collaborative problem-solving exercises.
b. Prinsip-prinsip pembelajaran
Dalam pembelajaran Communicative Learnig, prinsip-prinsip pembelajaran yang diperhatikan adalah sebagai berikut:
-                      Menggabungkan Tata Bahasa Norma Sosial: Sebuah Pandangan Unsur Yang Berlainan
Konten bahasa diperluas untuk mencakup hal-hal sosio budaya serta bentuk gramatikal, penulis ditantang untuk menemukan model untuk menggabungkan materi-materi. Dalam melakukannya, mereka menghadapi beberapa masalah menarik. Misalnya, kapan, mengapa, dan bagaimana seharusnya kita berurusan dengan aspek sosiolinguistic? Apakah aturan kesesuaian sosial yang diperlukan untuk semua program? Apakah konten yang harus dengan tegas disertakan? Dll.
Komunikasi lintas budaya merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu. Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
-                      Naskah Roleplays: Pandangan Holistik yang Mengandung Sosio Budaya
Satu latihan yang terdapat dalam periode komunikasi, roleplay adalah suatu metode yang menyeluruh, latihan holistic bahasa. Untuk penulis, roleplay adalah latihan beresiko tinggi, namun mewakili suatu susunan dugaan tujuan komunikatif dalam ilmu mendidik bahasa, seringkali roleplay digunakan tanpa koneksi yang jelas menuju tujuan yang spesifik, dalam roleplay pelajar akan mendapatkan norma sosial yang tersirat yang sesuai dengan target budaya bahasa oleh ciri-ciri sebuah anggota masyarakat. Dalam hal ini, pelajar diharuskan untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk memerankan suatu identitas tersebut.
Tapi selain itu, mempertimbangkan bahwa dalam profesi pengajaran bahasa, roleplay menjadi sebuah istilah penutup untuk berbagai jenis. Dengan demikian, penulis cenderung menggunakan istilah seperti ‘warm-up’, ‘improvisation’, ‘simulation’, and ‘socio-drama’, ada sedikit perbedaan diantara istilah tersebut. Sebenarnya, warm-up dan improvisation sudah muncul dalam materi pengajaran bahasa dari dunia teater (Spolin 1963). Simulations dan socio-drama, bukan masalah asal mula mereka, dengan cermat tergambarkan sebagai latihan pengajaran bahasa kelas (Jones 1982; Scarcella 1978).
c. Langkah-langkah atau prosedur pembelajarannya
Dapatkah Roleplay sedikit menjadi hal yang berbahaya? Kemungkinan besar, jika digunakan tanpa pandang bulu. Untuk menghindari beberapa jebakan, penulis disarankan untuk:
-                      Hindari Menempatkan Wine Lama di Botol Baru
Sebagaimana ditunjukkan pada ilustrasi 7.8 dan 7.9, roleplay telah digunakan sebagai judul pada latihan typesof banyak. Dari dialog kuno untuk keluar - dan-wawancara antara mitra. Puting label baru pada tipe, latihan lama akrab seperti dialog bukan merupakan strategi yang efektif yang digunakan untuk mendorong tujuan kompetensi komunikatif. Ketika tidak ada perhatian terhadap peran dan implikasi bagi pelajar dalam asumsi peran tersebut, maka penulis lebih baik disarankan untuk tidak menggunakan label.
-                      Memberikan Penjelasan
Setiap unit bahasa yang baik dibangun atau pelajaran membutuhkan fokus, suatu konsentrasi yang penulis telah dipilih. Bersih, penulis dipertimbangkan adalah Roleplaying latihan optimal untuk fokus ini? Jika bermain di bahan untuk praktek kelancaran, tetapi tanpa isi maka penulis perlu mempertimbangkan: 'Apakah saya menulis untuk pelajar aktor-in-tra atau bahasa? " Jika roleplay adalah diperuntukkan untuk membantu peserta didik memahami sosial non bahasa target, maka harus memberikan informasi tentang bot peran yang peserta didik menanggung dan situasi sosial dalam peran harus diberlakukan.
-                      Mengadakan persiapan
Apabila kita langsung melakukan roleplay tanpa persiapan yang matang merupakan kegagalan. Syaiful Imran (2009) www.ipotes.com, menjelaskan langkah-langkah role playing atau bermain peran, yaitu : (1) Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan, (2) menunjuk beberapa murid untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari ,(3) guru membentuk kelompok murid yang anggotanya 5 orang, (4) memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai, (5) memanggil para murid yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan, (6) masing-masing murid berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan, (7) setelah selesai ditampilkan, masing-masing murid diberikan lembar kerja untuk membahas penampilan masing-masing kelompok, (8) masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya, dan (9) guru memberikan kesimpulan secara umum.
-                      Memutuskan: memainkan peran sendiri atau orang lain?
Dalam role playing murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Namun, dalam satu sisi siswa dibuat merasa terjamin atau aman menggunakan topeng orang lain. Seperti Pipe (1983) mengatakan losing one’s own identity is threatening (Dubin,1987: 141). Pelajar seharusnya memainkan peran mereka sendiri ataupun orang lain tergantung pusat dan segi yang berhubungan dengan konteks dari pelajaran itu sendiri
-                      Memberikan motivasi
Setelah memilih untuk memainkan peran orang lain, lalu penulis harus mengembangkan faktor motivasi yang kuat, supaya para pelajar semangat untuk memainkan peran orang lain. Berikan para peserta sebuah uraian tentang peran mereka khususnya yang mencakup motif-motif dan interes-interes peran itu daripada hanya sekedar permainan layar yang harus dimainkan. Berikan peserta beberapa menit untuk masuk dalam peran mereka. H. Douglas Brown (2007:183) menyatakan motivasi adalah istilah serba guna yang paling sering dipakai untuk menjelaskan keberhasilan dan kegagalan di hampir semua pekerjaan yang kompleks. Asumsi ini tidak salah karena tak terhitung studi dan eksperimen dalam pembelajaran manusia yang menunjukan bahwa motivasi adalah kunci bagi pembelajaran pada umumnya.(Weiner,1986;Deci,1975;Maslow;1970).
1.      Focusing on product: material that deal with the reading skill
a.         Konsep dan pengertian
     Reading adalah salah satu bagian dari empat kemampuan yang utama dalam bahasa Inggris. Penyajian atau persiapan materi yang sesuai menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan sebuah pengajaran bahasa Inggris, khususnya dalam pengembangan kemampuan membaca (reading skill). Persiapan materi bacaan untuk pengajaran bahasa Inggris pada fungsi bahasa Inggris sebagai second-language menggambarkan sebuah benturan yang dicontohkan pada teori dalam model praktek.                      
Oleh karena itu, untuk menghadapi kendala yang berhubungan dengan kemampuan dalam reading, seorang penyusun atau perancang materi harus mampu menyatukan beberapa element sehingga  teori tentang menyiapkan atau merancang sebuah materi bacaan dapat diwujudkan dalam materi pembelajaran. Teori – teori tentang persiapan materi bacaan , diantaranya adalah sebagai berikut
a.       Teori tentang kealamian pada bacaan itu sendiri ( nature of reading itself);
b.      Teori tentang pemilihan karakteristik bacaan atau anaisis text (textual analysis;
c.       Spesifikasi karakter dan kebutuhan pembaca (reader) atau siswa (leaner)
d.      (leaner);
b. Prinsip-prinsip pembelajaran
1) The material preparer’s role
Penekanan pada tujuan pengaturan menurut tujuan pelajar untuk belajar bahasa kedua(asing)telah membangkitkan minat dalam keterampilan membaca.khusunya dalam koneks bahasa asing yang mana itu yang penting.tapi tidak seperti pendekatan statis sebelumnya ketika membaca bahasa asing biasanya dilakukan melalui grammar-translation.dorongan komunikatif telah mendorong majunya diskusi methological terhadap ke-2 kebutuhan pelajar.sifat tekstual dan pengenalan psikologi dan mekanisme kognitif yang terkait dengan kompleks keterampilan membaca.
-                      The three elements
Keterkaitan dengan keterampilan dalam bahasa kedua berfungsi sebagai bahan persiapan sebagai mediator teks dan pembaca-pelajar. proses mediasi membawa pembelajar berhubungan dengan strategis untuk membaca sukses yang dimanfaatkan dengan efisien.
Dengan demikian tugas desain materi adalah untuk mensintesiskan tiga unsur yang berbeda ke dalam hubungan yang kompatibel antara lain :
·         Strategi membaca membaca atau rekonstruksi dari apa yang pembaca asli tidak efisien-mungkin tanpa disadari
·         Analisis tekstual atau pemeriksaan teks untuk organisasi
·          Karakteristik pelajar pembaca bahasa kedua.
-   Tugas Perancang
 Menekankan pada pengaturan objektif yang berdasarkan pada tujuan siswa mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua ( second-language ) telah membawa pembaharuan ketertarikan dalam pengembangan kemampuan membaca (interest in the skill of reading), khususnya dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa asing, dimana ini merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Penyaji materi memiliki peranan dan pengaruh besar dalam metodologi pembelajaran atau pengajaran bahasa Inggris.
2) Modal Reading Lesson
-                      Strategies for developing Reading skill
Menurut Robinson; 1961 : strategi untuk mengembangkan kemampuan membaca adalah dengan meneliti, pertanyaan, membaca, mengulang, menceeritakan. Pada bagian pertama bacaan, pembaca tidk boleh atau tidak dianjurkan untuk menggunakan kamus akan tetapi pada bagian pertama bacaan itu menggunakan strategi membaca ssskimming yaitu membaca hanya dengan sepintas tidak dengan kata perkata karna itu membuat lama dlm suatu bacaan. Pembaca akan timbul pertanyaan dalam dirinya mengenai maksud dan apa isi bacaan yang ada pada awal bacaan.
-                      Feature of text
     Features of The text memiliki kaitan erat dengan text analysis, yaitu sebuah text yang didominasi dengan text berbentuk deskripsi atau percakapan. Text analysis ini terdiri dari text yang menganalisis bagaimana sebuah kalimat atau beberapa kalimat menjadi sebuah paragrap atau beberapa paragrap digabungkan secara bersama agar menjadi sebuah gaungan paragrap yang berbentuk text besar. yang kemudian oleh Halliday dan Hasan (1976) disebut sebagai ‘texture’. Bersamaan dengan textual properties, di dalam textual analisis juga terdapat features secara structure, dan relasi yang kohesif. Contohnya, didalam sistem membaca dalam bahasa Inggris terdapat beberapa elemen yang berhubungan seperti referensi dan repetisi. Lalu, didalam sebuah text analysis terdapat sebuah pengorganisasian properties text yang kemudian oleh Widdowson (1978 :45) disebut sebagai ‘coherence feature’
-                      Accomodating learners intertest: working on huncehes
      Pembuatan keputusan tentang pemilihan bacaan bagi pelajar yang menarik. Menduga-duga pekerjaan dalam memilih bacaan yang baik. Kita tentukan memilih bacaan dengan judul “ a moral for any age” karena dua kualitas yang amat urgen pada sebuah bacaan yaitu dilihat dar waktu yang tepat dan waktu yang tidak terbatas, artinya dalam memilih sebuah bacaan itu harus disesuakan dengan pelajar dan mengambil materi yang sesuai dengan masalah yang ada pada saat terkini.

c. Langkah-langkah atau prosedur pembelajarannya
Pendekatan yang menyiapkan materi terkait dengan strategi untuk membaca efektif, sifat alami membaca teks, dan karakteristik pelajar memproduksi hasil yang berbeda dari penjelaskan di sesi lalu.
1)      Latihan yang Menghasilkan Interaksi dengan Teks
Latihan biasanya ditujukan kepada sintaksis, wacana, dan fitur leksikal dalam teks dan interaksi pembaca dengan teks. Tujuan ini dicapai dengan mengembangkan jenis latihan yang memfasilitasi interaksi terutama dengan pemilihan bacaan di tangan. Konsekuensi dari pendekatan ini adalah bahwa jenis olahraga tertentu hanya dapat muncul sekali dalam seluruh buku teks, sementara yang lain mungkin lebih sering.
2) Menyediakan Berbagai Materi Baca
Sebuah silabus yang baik, tentu saja harus menyediakan buku untuk pelajar-pembaca dengan berbagai bahan dan dengan berbagai strategi membaca. Suatu saat, mengubah sikap telah dinyatakan dalam pernyataan ini: murid hanya perlu membaca bahasa Inggris untuk dapat memahami tulisan teknis atau ilmiah, jadi kita hanya akan mengajar mereka dalam cara mengatasi dengan satu jenis bahan.
2)      Memilih Teks Sesuai dengan L2 Learner–Readers
Ada sejumlah alasan untuk memanfaatkan narasi dalam buku teks untuk tingkat yang lebih rendah. Pertama, berbagi narasi universal yang sama fitur organisasi, unsur kronologi, membuat mereka bentuk lebih mudah bagi pembaca berpengalaman-pelajar. Kedua, narasi tampaknya merupakan jenis universal menulis dalam semua masyarakat melek huruf, pelajar-pembaca datang dengan gaya retoris narasi dengan built-in pengalaman. Selain itu, dalam jenis narasi, ada banyak tingkat kompleksitas, mekanisme affording desainer yang dapat digunakan untuk mengontrol dan struktur pilihan. Empat unsur dasar kompleksitas ditentukan oleh:
-          Tingkat redundansi dalam narasi
-          Tingkat informasi yang diberikan atau ditahan dalam plot
-          Kompleksitas karakter, dan
-          Kompleksitas peristiwa
Dengan sekuensing narasi sesuai dengan rating mereka pada skala kompleksitas, adalah mungkin untuk memberikan pelajar tingkat yang lebih rendah dengan pengalaman dalam berurusan dengan informasi yang tercantum atau tersirat, gagasan utama dan pendukung, fitur gaya yang digunakan untuk cita-cita utama diuraikan, dll (Dubin dan Olshtain 1984 )
2)      B. Siti Wachdiah “Pembelajaran Bahasa Berbasis Genre”
a.      Konsep dan Pengertian pembelajaran bahasa berbasis genre
Pengembangan metode pembelajaran genre perlu dilakukan bedasarkan kajian kepustakaan berkenaan tentang teori-teori yang relevan, terutama tentang genre dan teori-teori belajar yang sesuai dengan karakteristik genre. Bab ini terbagi dalam dua bagian utama. Bagian pertama membahas tentang berbagai teori tentang genre dan implikasinya terhadap pendidikan bahasa Inggris di Indonesia. Bagian kedua membahas berbagai teori tentang proses belajar dan pembelajaran untuk mengembangkan metode pembelajaran genre yang sesuai dengan kondisi nyata di sekolah.
1.      Genre dan Pendidikan Bahasa Inggris
Meskipun pendekatan berbasis genre telah menjadi dasar untuk penyusunan Kurikulum 2004 dan juga kemudian untuk penyusunan standar isi dan standar kompetensi lulusan sekolah menengah dalam mata pelajaran Bahasa Inggris (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 dan 23 tahun 2006), pemahaman terhadap konsep tersebut di kalangan para pendidik dalam bidang Bahasa Inggris masih sangat beragam. Proses pembelajaran di sekolah pada umumnya juga masih seperti biasa, dalam arti tidak disesuaikan dengan tuntutan tersebut. Bagian ini membahas konsep genre dan implikasinya terhadap pendidikan bahasa Inggris di sekolah menengah di Indonesia.
·       Genre dan Rasional Penerapannya untuk Pembelajaran Bahasa Asing
Istilah ‘genre’ berasal dari bahasa Perancis, yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Latin (genus). Dalam kamus Concise Collins Dictionary genre didefinisikan sebagai “kind, category, or sort, esp. of literary or artistic work”. Istilah ini memang pada awalnya dikenal untuk menentukan aliran di bidang seni dan sastra, dan kemudian berbagai tulisan di media massa. Baru sekitar tahun 80an istilah ini mulai diadopsi di bidang bahasa dan keaksaraan. Dalam bidang bahasa, perkembangan konsep genre terjadi dalam tiga tradisi yang berbeda, yaitu di bidang Retorika Baru di Amerika Utara, Bahasa Inggris untuk Tujuan Khusus (English for Specific Purposes, ESP), dan Systemic Functional Grammar (SFL) di Australia (Hyon, 1995; Hyland, 2002).
Dalam ketiga tradisi tersebut, genre lebih sering dikaitkan dengan teks tertulis dan untuk pengembangan kemampuan retorik dan keaksaraan (membaca dan menulis) (Freedman dan Medway, 1994; Martin, 1986, 1989, 1991; Swales, 1990; Hopkins dan Dudley-Evans, 1988). Namun dalam tradisi SFL di Australia, konsep genre juga diterapkan untuk pendidikan bahasa Inggris lisan dan tertulis, untuk pengembangan kemampuan literasi di pendidikan dasar dan menengah, terutama bagi para imigran dan golongan masyarakat kurang beruntung lainnya (lihat, a.l., Callaghan dan Rothery, 1988; Derewianka, 1990; Burns, 1991; Hammond, dkk., 1992).
Dalam bidang pendidikan bahasa asing atau bahasa kedua, penggunaan genre sebagai basis pembelajaran dapat dikaitkan dengan asumsi bahwa kualitas dan derajat hidup manusia ditentukan oleh ‘amalnya’, yaitu berbagai hal yang telah dilakukan dalam hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan kesulitan, manusia perlu bertindak dan melakukan sesuatu. Bahkan untuk sekedar dapat bertahan hidup, manusia tidak dapat hanya tinggal diam.
Pertama, fokus perhatian pada pendekatan tradisional adalah pada penguasaan unsur dan aturan dalam bahasa Inggris, sedangkan penguasaan wacana adalah untuk pencapaian tujuan dan penyelesaian masalah di luar bahasa Inggris itu sendiri. Kedua, karena bahasa Inggris diperlakukan sebagai alat dalam berwacana, fokus perhatian bukan hanya pada unsur dan aturan yang ada dalam bahasa Inggris, tetapi juga pada unsur dan aturan yang berlaku di masyarakat yang dianggap paling tepat dan efektif untuk mencapai tujuan. Ketiga, yang terkait dengan efektivitas pencapaian tujuan, diperlukan pertimbangan lain di samping ketepatan pemilihan kata dan aturan kebahasaan, yaitu faktor sosial budaya, strategi, dan sikap.
Relevansi genre dalam pendidikan bahasa dikaitkan dengan potensinya untuk mengembangkan kemampuan berwacana secara efektif. Keragaman kebutuhan dan tuntutan hidup yang dihadapi manusia secara alami telah menghasilkan keragaman genre yang ada di masyarakat saat ini.
Karena fungsinya sebagai alat untuk melakukan suatu pekerjaan, genre dianggap sebagai suatu process, action, activity (lihat, a.l. Martin, 1984, 1986, 1992), social action (Miller, 1984), atau communicative event (Swales, 1990). Bentuk tindakan yang akan dilakukan sengaja dipilih karena dianggap paling tepat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, sebagaimana dinyatakan Christie berikut ini.
Suatu tindakan atau proses yang dilakukan untuk mencapai satu tujuan diwujudkan dalam bentuk kongkrit berupa teks. Untuk satu tujuan yang sama biasanya tidak digunakan satu teks yang persis sama selamanya, tetapi bervariasi dalam hal isi maupun bentuk bahasa yang digunakan. Namun kemiripan antara teks-teks tersebut dapat dengan mudah diidentifikasi, bahkan oleh orang awam yang tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu bahasa atau ilmu komunikasi. Beberapa teks yang memiliki kemiripan dalam tindakan yang dilakukan itulah yang biasanya dikelompokkan dalam satu genre yang sama. Bahwa teks berfungsi mencapai tujuan menjadi salah satu prinsip dari SFL yang dipelopori oleh M. A. K. Halliday, yang mendefinisikan teks bukan sekedar produk bahasa, tetapi produk bahasa  yang mengemban suatu fungsi, “language that is functional  (1985: 12).
Dengan asumsi bahwa genre merupakan alat penting, atau bahkan mungkin paling utama, untuk dapat meningkatkan harkat martabat manusia, pembelajaran bahasa di beberapa negara bagian di Australia, yang dipelopori oleh New South Wales, menggunakan pendekatan genre. Yang dicakup dalam kurikulum tentunya yang genre-genre yang dihormati dan dianggap memiliki nilai tinggi di masyarakat setempat, yang memungkinkan generasi muda dapat diterima dengan baik dan memiliki kesejajaran dengan suku bangsa lain yang sudah lebih lama tinggal di negara tersebut. Hal ini disebutkan salah satunya dalam pernyataan Gerot dan Wignell (1994: 190-191).
Menurut pengamatan Feuer (1992: 145), genre bahkan dimanfaatkan oleh kaum Marxist sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial untuk memelihara kelangsungan ideologi mereka; suatu pandangan yang mendukung asumsi Fairclough, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa genre merupakan media untuk memperoleh atau mempertahankan kekuatan dan kekuasaan seseorang atas orang lain.
Pengertian Genre
Untuk tujuan tersebut, definisi genre yang diberikan Johns (2004) perlu dirujuk untuk mengawali bagian ini, di mana dia menyatakan bahwa genre adalah sesuatu yang abstrak, yang merupakan gambaran mental tentang suatu jenis atau tipe teks. Sebagaimana dibahas sebelumnya, genre bukan teks, tetapi sesuatu yang dapat digunakan untuk mengkategorikan teks ke dalam jenis atau tipe yang berbeda-beda.
Seperti ada suatu kesepakatan di antara para penulis dan peneliti dalam penetapan status suatu genre, yaitu dengan menggunakan sedikitnya tiga kriteria: (1) tujuan sosial yang hendak dicapai, (2) struktur retorika, skematik, atau generik, dan (3) bentuk kebahasaan yang digunakan. Menurut Martin dan Rothery (1986: 243), genre adalah “the staged purposeful social processes through which a culture is realized in a language.” Definisi tersebut selaras dengan hasil pengamatan John M. Swales terhadap berbagai pembahasan tentang genre di bidang kebahasaan dan keaksaraan. Dia katakan bahwa genre merupakan kejadian komunikatif (communicative events) yang dilakukan untuk mencapai satu tujuan. Selanjutnya, tujuan tersebut menjadi dasar untuk menentukan isi atau makna yang akan diutarakan, penempatan makna dalam teks, dan bentuk kebahasaan yang digunakan untuk mengutarakan makna tersebut (190: 52-53). Swales memberikan contoh penggunaan surat good news (untuk menyampaikan pesan yang diharapkan akan menyenangkan si penerima) dan surat bad news (untuk menyampaikan pesan sebaliknya).
Keterkaitan antara ketiga unsur yang membentuk genre dapat dilihat sebagai hubungan sebab akibat. Karena adanya suatu kebutuhan, orang perlu bertindak dengan cara berwacana. Jadi, tujuan berwacana ditentukan oleh kebutuhan yang dihadapi penutur. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan teks untuk mengungkapkan makna yang diperlukan. Adalah bagian dari sifat manusia, pengungkapan makna tidak dapat dilakukan dengan cara lain kecuali secara linear, makna demi makna. Berdasarkan pertimbangan efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan, penutur menentukan urutan penyampaiannya, serta kosakata dan tatabahasa yang dianggap paling tepat.
Dalam buku “Making Sense of Functional Grammar”, yang tujuannya adalah memberikan pemaparan praktis tentang SFL bagi guru bahasa asing atau bahasa kedua, Gerot dan Wignell (1994) memberikan paparan secara rinci 13 genre, yaitu Uraian Kejadian (Recount), Spoof (atas dasar pertimbangan makna, istilah tersebut serta beberapa istilah asing lainnya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), Laporan Pengamatan (Report), Eksposisi Analitis, Berita, Anekdot, Naratif, Prosedur, Deskripsi, Eksposisi Hortatory, Penjelasan, Diskusi atau Pembahasan, dan Ulasan (Review). Setiap genre disampaikan secara skematik dalam tiga bagian yang diberi judul (1) Social Function, (2) Generic (Schematic) Structure, dan (3) Significant Lexicogrammatical Features. Di bawah judul Social Function disebutkan tujuan yang hendak dicapai, di bawah judul Generic Structure disebutkan daftar langkah atau tahapan secara berurutan, dan di bawah judul Significant Lexicogrammatical Features disebutkan daftar kosakata dan tatabahasa yang menjadi penciri genre yang bersangkutan. Pemaparan ciri-ciri tatabahasa tampak jelas menggunakan Functional Grammar Halliday (1985, 1994). Pemaparan setiap genre dilengkapi dengan sebuah contoh teks yang utuh, namun telah dipenggal-penggal ke dalam beberapa bagian, yang masing-masing merepresentasikan langkah atau tahapan. Oleh karena itu setiap tahapan diberikan judul yang sesuai.
Kekhawatiran Gerot dan Wignell (1994) bahwa guru akan memperlakukan pemaparan genre di atas sebagai rumus yang harus ditaati tesirat dalam paragraf yang mengingatkan guru bahwa genre bukan sesuatu yang kaku dan tetap, tetapi bervariasi sesuai konteks penggunaannya. Bahkan disebutkan dalam pernyataan berikut bahwa kreativitas individu dalam menerapkan suatu genre perlu dilatihkan.
Kelenturan genre dalam mengakomodasi tuntutan sosial dan prakarsa individu menjadi pokok bahasan dalam seksi berikut.
Genre sebagai Suatu Tindakan Sosial
Berbagai tulisan yang dirujuk dalam membahas konsep genre di atas jelas menunjukkan bahwa genre adalah satu bentuk tindakan sosial, sehingga sangat dipengaruhi oleh konteks sosiokultural yang dihadapi. Oleh karena itu, genre bersifat fleksibel dalam mengakomodasi tuntutan masyarakat penggunanya (discourse community), termasuk keinginan dari dalam diri individu yang menggunakannya. Karena pertimbangan sosial tersebut, genre cenderung bervariasi dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, orang ke orang. Swales mengatakan “exemplars or instances of genres vary in their prototypicality” (1990: 49). Fairclough (1995: 89) dan Freedman dan Medway (1994: 87) bahkan sering menemukan suatu teks yang menerapkan beberapa genre atau ciri-ciri dari beberapa genre sekaligus. Selain itu, Fowler (1989) juga jarang menemukan teks yang tergolong dalam satu genre memiliki secara lengkap semua unsur dan aturan yang dianggap sebagai ciri dari genre tersebut (hal. 215). Meale (1981: 52) bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa genre bukanlah ‘sistem’, tetapi proses membangun suatu sistem (systematization).
Sebagai satu tindakan sosial, genre tidak dapat dilihat sebagai bentuk atau aturan yang khas dari suatu jenis, tipe atau kategori teks, yang memiliki rumus yang pasti, sehingga dapat disamakan dengan cetakan yang siap digunakan untuk mereproduksi teks-teks yang sebangun. Karena pemilihan genre terkait dengan usaha untuk mencapai tujuan berwacana secara efektif, genre akan selalu berubah sesuai dengan konteks wacana yang ada. Pare dan Smart (1994) menganggap genre sebagai “a complex pattern of repeated social activity and rhetorical performance arising in response to recurrent situation” (hal. 146). Gerot dan Wignell (1994: 191) juga secara tegas menyatakan bahwa paparan genre yang ada dalam bukunya menggambarkan suatu kecenderungan atau probabilitas, bukan suatu kepastian.
Menurut Halliday (1985: 12-14), pemilihan bentuk atau struktur teks oleh penutur untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu kegiatan sosial komunikatif ditentukan oleh konteks situasi yang dihadapi, atau register. Register merupakan kesatuan dari tiga unsur yang tidak dapat terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu field, tenor, dan mode. Field mengacu pada apa yang sedang terjadi atau mengenai hal-hal yang sedang dibicarakan. Tenor mengacu pada siapa yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, sifat dan peran masing-masing, serta sifat hubungan antara satu dengan lainnya. Mode mengacu pada media atau tatanan simbol yang digunakan, statusnya, serta fungsinya dalam konteks pembicaraan. Termasuk dalam unsur mode antara lain saluran yang digunakan (tertulis, lisan, atau kombinasi keduanya), struktur retorikanya, atau tujuan sosialnya (persuasive, ekspositori, deduktif, dsb.).
Celce-Murcia, Dornyei, dan Thurrell (2001) membahas kompleksitas bahasa sebagai suatu alat untuk melakukan tindakan sosial dari sudut pandang lain. Menurut mereka, kemampuan menentukan bahasa yang tepat untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan komunikatif yang sebenarnya di masyarakat (berwacana) diperlukan lima kompetensi dasar yang merupakan satu kesatuan yang utuh yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Kelima unsur tersebut adalah (1) kompetensi wacana, (2) kompetensi kebahasaan, (3) kompetensi tindak bahasa, (4) kompetensi sosiokultural, dan (5) kompetensi strategik. Kelima kompetensi dasar tersebut menjadi syarat untuk dapat menghasilkan suatu teks yang memiliki bentuk dan susunan yang oleh lingkungan sosialnya dianggap tepat dan efektif untuk mencapai suatu tujuan sosial yang hendak dicapai oleh penuturnya.
Kompetensi wacana mengacu pada kemampuan memilih, menata, dan mengurutkan makna (yang terungkap dalam bentuk kata, kalimat, pargraf) serta konstruksi lainnya. Kompetensi kebahasaan mengacu pada kemampuan memilih unsur-unsur kebahasaan yang selama ini menjadi fokus pembelajaran bahasa asing (yaitu tata bahasa, kosakata, lafal, intonasi, ejaan, dan tanda baca) yang dianggap tepat. Kompetensi tindak bahasa mengacu pada kemampuan mengungkapkan dan memahami tindakan komunikatif yang sedang dilakukan. Kompetensi sosiokultural mengacu pada kemampuan memahami dan menerapkan aturan-aturan dan tatacara yang dianggap tepat dan patut menurut konteks budaya yang bersangkutan. Kompetensi strategik mengacu pada kemampuan memahami dan menerapkan strategi komunikatif yang tepat untuk mencapai tujuan komunikatif secara efektif dan efisien.
Di samping faktor-faktor sosial tersebut, variasi genre tidak dapat terlepas dari pengetahuan dasar yang dimiliki oleh para penuturnya. Pengetahuan ini disebut sebagai skemata, yang menurut Carell (1983) terdiri atas dua jenis, yaitu “content schemata,” yang mengacu pada pengetahuan umum tentang dunia, dan “formal schemata,” yang mengacu pada genre yang menjadi dasar pembentukan teks. Biasa dikatakan dalam budaya Indonesia, bahwa cipta, rasa, dan karsa individu akan selalu mempengaruhi apapun yang dilakukan ataupun dihasilkan dalam hidupnya.
b.      Prinsip-Prinsip Pembelajaran Berbasis Genre
Pembahasan tentang keterkaitan antara genre dengan penguasaan wacana sejauh ini telah memberikan masukan yang cukup banyak tentang unsur-unsur yang seharusnya tercakup dalam pembelajaran bahasa untuk berwacana, serta pentingnya memperlakukan unsur-unsur tersebut sebagai suatu alat bagi manusia untuk memainkan perannya sebagai individu yang mandiri dan sekaligus sebagai makhluk sosial yang tidak bisa terlepas dari tatanan dan kelaziman yang berlaku di masyarakatnya. Dari pembahasan tersebut diperoleh banyak informasi tentang muatan yang perlu dicakup, yakni unsur pembentuk dan sifat genre. Tiga unsur tersebut adalah tujuan sosial, struktur makna, dan ciri-ciri kebahasaan. Ketiga unsur tersebut memiliki kestabilan dalam bentuk dan makna yang dikandungnya, namun dalam penerapannya memiliki kelenturan, untuk mengakomodasi cita, rasa, prakasa penggunanya serta keragaman konteks wacana yang dihadapi.
Ada beberapa implikasi yang dapat ditarik dari pemahaman tersebut untuk diterapkan dalam perancangan model pembelajaran yang sesuai. Pertama, genre merupakan representasi dari satu unit makna yang utuh, yang terwujud dalam sebuah teks yang dianggap lengkap dan memadai untuk mencapai tujuan. Berdasarkan pemahaman ini, pembelajaran genre mensyaratkan penggunaan teks sebagai dasar pembelajaran, karena merepresentasikan makna secara utuh dan menyeluruh (whole language), di mana tiap aspek yang ada di dalamnya saling mempengaruhi satu sama lain, dan saling terkait membentuk satu unit yang utuh dan kokoh. Dengan teks sebagai satuan makna dasar, kegiatan pembelajaran dapat diperluas dengan menggunakan teks-teks lain, atau mengarah ke dalam untuk mempelajari satuan-satuan makna yang lebih kecil yang telah membangunnya menjadi teks utuh.
Kedua, penguasaan genre dapat dicapai melalui prinsip yang sederhana, yaitu learning by doing. Genre adalah satu bentuk tindakan sosial untuk mencapai suatu tujuan, sehingga penguasaan terhadap suatu genre berarti kemampuan mencapai suatu tujuan dengan menggunakan genre yang sesuai sebagai alat utamanya. Oleh karena itu, untuk menguasai suatu genre, otentisitas tujuan, kegiatan, materi, dan konteks situasi berwacana dalam genre tersebut merupakan salah satu prinsip yang tidak dapat diabaikan. Dengan kata lain, siswa perlu diberikan tantangan dan kesempatan untuk memperoleh pajanan dan terlibat aktif dalam berwacana secara otentik dalam genre tersebut.
Ketiga, untuk memberikan pemahaman pada siswa bahwa genre memiliki kelenturan untuk bervariasi menyesuaikan dirinya dengan schemata penggunanya serta konteks yang dihadapi, pembelajaran genre tidak dapat menggunakan mengikuti cara tradisional, yang diawali dengan pemaparan rumus-rumus yang telah dihasilkan orang lain sebelumnya secara eksplisit oleh guru dan kemudian diikuti dengan latihan pembiasaan oleh siswa. Cara ini akan memberikan pemahaman bahwa genre bersifat tetap dan tidak kontekstual. Untuk dapat menangkap sisi kemapanan suatu genre yang sedang dipelajari dan pada saat yang sama juga menangkap variasi yang dimungkinan oleh masyarakat penggunanya, siswa perlu dihadapkan langsung pada berbagai teks yang benar-benar digunakan dalam kehidupan nyata.
Keempat, karena genre merupakan alat untuk mencapai tujuan dan penguasaan genre berarti penguasaan menggunakan alat tersebut, siswa perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang ketiga unsur genre—tujuan sosial, struktur skematik, ciri-ciri kebahasaan yang digunakan. Namun perlu ditekankan bahwa penguasaan yang baik tidak berarti kemampuan memahami atau mendeskripsikan ketiga unsur tersebut secara eksplisit. Banyak penutur asli mampu menceritakan kembali cerita yang mereka baca dalam novel secara runtut, rinci dan dengan bahasa yang baik, namun belum tentu mampu menggambarkan struktur retorika novel tersebut secara eksplisit.
Kelima, bukan hanya tidak semua orang tidak mampu mendapatkan pemahaman eksplisit tentang genre, tetapi banyak juga yang memang tidak memerlukannya. Misalnya, kebanyakan pembaca koran atau pemirsa TV mampu memahami berbagai berita yang dimuat dan ditayangkan, padahal mereka tidak memiliki pemahaman eksplisit tentang genre yang diterapkan. Mereka tidak perlu memiliki pemahaman eksplisit tentang genre berita untuk dapat memahami berita. Namun, sebaliknya, tanpa memiliki pemahaman eksplisit tentang genre, penulis berita tidak mungkin mampu menghasilkan teks-teks berita yang layak dimuat atau ditayangkan. Pemahaman eksplisit juga diperlukan untuk tujuan penelitian, antara lain melakukan analisis teks, membandingkan tingkat efektivitas satu teks dengan lainnya, analisis kontrastif teks dalam dua bahasa yang berbeda. Dengan kata lain, pemahaman eksplisit tentang genre ditentukan oleh tingkat literasi yang perlu dicapai siswa.
Keenam, silabus dan kurikulum bahasa biasanya mengelompokkan kompetensi sasaran sesuai dengan klasifikasi keterampilan berbahasa yang digunakan selama ini, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Cara pengelompokan seperti ini dipahami oleh banyak guru sebagai keharusan bahwa setiap pokok bahasan, perlu dilakukan dalam keempat keterampilan tersebut. Begitu juga halnya dengan pembelajaran genre yang dilakukan guru atau dimuat dalam buku teks. Misalnya, pembelajaran cerita yang menggunakan materi sebuah cerita, biasanya mencakup tugas-tugas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, dan menulis teks yang serupa. Padahal pada kehidupan nyata, penguasaan suatu genre tidak harus pada setiap keterampilan tersebut, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat penguasan literasinya. Kebanyakan pencinta novel, misalnya, hanya mampu membaca dan membahas isinya, tetapi tidak mampu dan tidak ingin menghasilkan novel sendiri. Begitu juga banyak orang yang hanya perlu memahami komentator olahraga, dan tidak pernah bermimpi atau ingin dapat melakukannya. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa dalam program pembelajaran suatu genre, penentuan jenis kegiatan yang perlu dicakup lebih baik didasarkan pada relevansinya dengan kebutuhan dan tingkat penguasaan bahasa sasaran oleh siswa.
·      Pembelajaran Bahasa Berbasis Genre
Dalam merencanakan pembelajaran bahasa, ada dua kata kunci yang perlu mendapatkan perhatian yang seimbang, yaitu kata ‘bahasa’ dan ‘belajar’. Kata ‘bahasa’ mengacu pada isi atau muatan utama yang diajarkan, sedangkan kata ‘belajar’ mengacu pada proses untuk menguasai muatan tersebut. Pembahasan tentang keterkaitan antara genre dengan penguasaan wacana sejauh ini telah memberikan beberapa masukan untuk melaksanakan pembelajaran genre. Pemahaman tersebut sangat berguna untuk merumuskan kompetensi yang hendak dicapai dalam pembelajaran genre, serta prinsip-prinsip pembelajarannya.
Berdasarkan batasan tentang genre ini, kompetensi komunikatif yang menjadi tujuan pembelajaran perlu dirumuskan dalam bentuk-bentuk kegiatan berwacana yang lazim dilakukan dalam wacana di kehidupan nyata di mana siswa menjadi bagiannya. Sedangkan indikator keberhasilan melaksanakan setiap kegiatan berwacana dilihat dari ketiga unsur dalam genre, yakni (1) keberhasilan memainkan fungsi atau mencapai tujuan sosialnya, (2) pemilihan dan penataan makna yang digunakan, dan (3) pemilihan dan penataan unsur kebahasaan yang digunakan untuk mengutarakan setiap unsur makna.
Namun pengetahuan yang jelas tentang produk yang ingin dicapai serta prinsip-prinsip pencapaiannya tidak serta merta diikuti oleh pengetahuan tentang proses pembelajaran yang sesuai. Hal inilah yang seolah-olah terlupakan oleh para perancang model pembelajaran berbasis genre di Australia yang disebut ‘Teaching/Learning Cycle’ (selanjutnya, TLC). Model pembelajaran yang didasarkan pada teori genre dalam tradisi SFL tersebut sudah secara luas dan cukup lama diterapkan sebagai dasar untuk pengembangan kurikulum untuk pendidikan literasi di sekolah-sekolah Australia bagi para siswa yang bukan berlatar belakang bahasa Inggris, terutama di negara bagian New South Wales dan Queensland, namun tidak pernah ada kejelasan tentang teori belajar yang digunakan sebagai dasar untuk perancangan langkah-langkahnya.
Model pembelajaran tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan, dari model pembelajaran Callaghan dan Rothery (1988), yang terdiri atas tiga tahapan yaitu Modeling of Text, Joint Construction of Text, dan Independent Construction of Text. Kemudian oleh Burns dan Joyce (1991) ditambahkan satu tahap lagi yaitu Building Knowledge of the Field, untuk memberikan pengetahuan dasar tentang konteks, tata bahasa dan kosa kata yang diperlukan untuk menerapkan suatu genre. Model pembelajaran yang terakhir, yang terdiri atas lima tahap yang dikembangkan oleh Jackson (1995), menambahkan unsur Linking Related Texts, untuk dapat memungkinkan pembelajaran dialog lisan. Model pembelajaran tersebut kemudian diterapkan oleh Feez (1998) untuk mengembangkan silabus berbasis text. Namun demikian, model-model pembelajaran tersebut tetap tidak pernah bergeser dari dasar utamanya, yakni hanya pada teori bahasa dan literasi dari SFL, yang dipelopori oleh Halliday. Penentuan tahap-tahap pembelajaran tersebut di atas tidak didasarkan pada pembahasan yang mendalam tentang teori belajar. Hal ini terlihat pada pernyataan Hammond dkk. (1992) berikut ini. This part presents an approach to Curriculum Design and Program Planning which is informed by a systemic-functional model of language and litracy. Decisions about the Curriculum Design are based on:
·        Theoretical understanding of language and litracy
·        Initial and ongoing assessment of learner
·        Analysis of learners’ needs and goals
·        Analysis of demands of language content.
Program Planning draws on the above and involves making decisions about program aims, appropriate content and teaching methodology.  (Hammod, dkk., 1992: 15)
Begitu juga halnya dengan Feeze yang membahas metode penerapan silabus berbasis text. Meskipun dia menyebutkan konsep visible pedagogy dan invisible pedagogy yang dibahas oleh Berstein, konsep zone of proximal development dari Vygotsky dan scaffolding dari Bruner, namun isi pembahasan berhenti pada identifikasi rambu-rambu yang bersifat umum, dan tidak menjelaskan prosesnya sampai pada penentuan kelima tahapan pembelajaran dalam model pembelajaran TLC yang digunakannya. Menurut pernyataan Feeze (1998: 24-27), metodologi yang tepat untuk menerapkan silabus berbasis text adalah berbasis genre, dan pembelajaran berbasis genre perlu didasarkan pada tiga asumsi, yaitu (1) belajar bahasa adalah suatu kegiatan sosial, (2) proses belajar akan berjalan secara efektif jika hal-hal yang perlu dikuasai disebutkan secara eksplisit, dan (3) proses belajar bahasa memerlukan langkah-langkah yang terbimbing untuk mengembangkan penguasaan berbagai aspek bahasa.
Selain model pembelajaran TLC, memang belum ada lagi model pembelajaran bahasa berbasis genre yang telah dipublikasikan secara luas. Sementara itu, penentuan tahapan-tahapan yang ada dalam model pembelajaran ini pun tidak melalui pembahasan teori belajar secara memadai. Oleh karena itu, untuk menerapkan pembelajaran berbasis genre untuk pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia, perlu dirancang satu model pembelajaran berdasarkan teori-teori belajar secara memadai.
·                Model pembelajaran “Pengamatan dan Peniruan Model” (PPM) untuk Penerapan
Pendekatan Pembelajaran Bahasa Inggris Berbasis Genre Di SMP dan SMA
Dalam konteks bahasa ibu atau bahasa pertama, di mana kesempatan dan tantangan untuk berwacana tidak ada batasnya, penguasaan genre seolah-olah adalah masalah waktu; yaitu, lambat laun penutur asli dapat menguasai berbagai genre dalam bahasanya dengan baik. Dapat dikatakan bahwa semakin lama orang terlibat dalam penggunaan suatu genre, semakin baik penguasaannya terhadap genre tersebut. Namun, dalam konteks pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua, di mana kesempatan dan tantangan untuk berwacana secara kulaitas dan kuantitas jauh lebih rendah, langkah-langkah pembelajaran perlu ditentukan secara cermat agar dalam segala keterbatasan yang ada, kompetensi sasaran dapat dicapai. Oleh karena itu, untuk pembelajaran genre di sekolah, perlu dirancang model pembelajaran yang terdiri atas langkah-langkah yang ditentukan berdasarkan teori-teori belajar yang sesuai dengan hakikat genre sebagai alat untuk melaksanakan suatu fungsi sosial. Satu hal lagi yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa proses belajar harus berjalan secara alami sesuai dengan sifat dasar manusia yang melaksanakannya.
Pembahasan pada bagian 2.1.4 telah mengidentifikasi enam prinsip pembelajaran genre yang ditarik dari sifat-sifat yang melekat pada genre sebagai suatu proses sosial yang dipergunakan sebagai alat oleh individu untuk untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Salah satu teori belajar yang dianggap dapat mengakomodasi prinsip-prinsip tersebut adalah Social Learning Theory (selanjutnya tetap akan digunakan istilah dalam bahasa Inggris tersebut atau disingkat menjadi SLT) yang dikembangkan oleh seorang pakar psikologi perkembangan dari Kanada bernama Albert Bandura (Bandura, 1977). Berdasarkan teori tersebut, melalui penelitian ini dikembangkan model pembelajaran bahasa Inggris berbasis genre yang kemudian dimeri nama model pembelajaran “Pengamatan dan Peniruan Model” (selanjutnya disingkat PPM), untuk menonjolkan dua langkah utama yang membentuk proses pembelajaran yang diusulkan tersebut. Untuk tujuan penelitian ini, SLT menyediakan kerangka dan struktur dasar model pembelajaran PPM. Untuk pengembangan tiap langkah dalam model tersebut akan dirujuk teori perkembangan Vygotsky, dan beberapa teori lain yang menekankan proses sosial, termasuk pemodelan, dalam perkembangan kecerdasan intelektual manusia.
1.      Social Learning Theory (SLT)
Teori belajar tersebut menekankan pentingnya pengalaman langsung dalam berbagai kegiatan sosial di dunia nyata untuk dapat menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan yang mendasari tingkah laku dan sikap manusia dalam hidupnya. Melalui pengalaman langsung itulah manusia melakukan dua kegiatan kunci dalam proses belajar, yaitu mengamati cara orang lain di sekitarnya bertingkah laku, bersikap, dan menunjukkan reaksi emosional terhadap kejadian di sekitarnya dan kemudian menirukannya untuk mengarahkan tindakannya. Bagi Bandura, proses belajar melalui pengamatan tersebut jauh lebih mudah dan lebih aman dibandingkan dengan jika harus memulai semuanya dari diri sendiri, sebagaimana dalam pernyataannya berikut ini.
Learning would be exceedingly laborious, not to mention hazardous, if people had to rely solely on the effects of their own actions to inform them what to do. Fortunately, most human behavior is learned observationally through modeling: from observing others one forms an idea of how new behaviors are performed, and on later occasions this coded information serves as a guide for action. (Bandura, 1977: 22)
Secara garis besar disebutkan dalam pernyataan tersebut bahwa cara belajar dengan menirukan model (modeling) terdiri langkah-langkah mengamati model, menyimpan ciri-ciri model tersebut dalam ingatannya, dan kemudian menggunakan pengetahuan yang dipahaminya untuk melakukan atau menghasilkan tingkah laku yang serupa dengan modelnya.
Menurut Bandura, tingkah laku manusia merupakan hasil dari keterkaitan timbal balik antara unsur kognitif, tingkah laku, dan pengaruh lingkungan. Asumsi ini kemudian mengarahkan pada formula bahwa untuk dapat memahami dan mengikuti model yang diinginkan diperlukan empat tahapan, yaitu attention, retention, reproduction, dan motivasion. Langkah pertama, attention, adalah langkah di mana individu tertarik perhatiannya pada ciri-ciri khas dan menonjol dari benda yang akan ditiru. Perhatian merupakan syarat awal untuk terjadinya proses peniruan. Kualitas perhatian tergantung pada obyek yang diamati maupun pada tingkat gangguan yang dapat mengacaukan perhatian (misalnya, ngantuk, sakit, terlalu bising). Kondisi obyektif benda atau tingkah laku yang diamati menjadi faktor penentu. Pada umumnya orang akan tertarik menggunakan suatu benda atau melakukan suatu kegiatan karena menurutnya benda atau kegiatan tersebut memiliki sifat-sifat positif serta membawa dampak positif terhadap kehidupannya, antara lain, menarik, dramatis, bergengsi, dapat merubah nasib, dsb.
Unsur retention mengacu pada proses yang mengarah pada kemampuan merepresentasikan atau merubah model tingkah laku atau sikap ke dalam simbol-simbol, rumus, struktur, dan aturan, sehingga dapat tersimpan dalam sistem memori, dan sewaktu-waktu dapat diingat kembali untuk menghasilkan tingkah laku yang serupa dengan model. Proses tersebut dapat juga dikatakan sebagai proses penarikan abstraksi unsur-unsur dan aturan-aturan dari suatu bentuk tingkah laku atau sikap yang diamati.
Simbol-simbol yang tersimpan dalam ingatan ini kemudian dapat digunakan sewaktu-waktu untuk melakukan reproduction. Dalam tahap ini, individu berusaha mewujudkan apa yang selama ini hanya diamati dalam bentuk tindakan. Semakin sering dia melakukannya, semakin mirip tindakan tersebut dengan modelnya. Namun, kemampuan individu untuk dapat menirukan suatu tingkah laku atau benda sangat bervariasi. Ada yang bisa sama dengan modelnya, ada yang bahkan lebih unggul dari modelnya, ada yang mendekati, tetapi ada juga yang sama sekali tidak dapat melakukannya.
Unsur motivation mengacu pada hal-hal yang membuat individu menjadi mau atau tidak mau, ingin atau tidak ingin, menirukan suatu model tingkah laku atau sikap. Hal ini dipengaruhi oleh proses reinforcement atau punishment, yang dialami sendiri di masa lalu, yang dijanjikan, atau yang secara tidak langsung dirasakan melalui pengalaman orang lain. Individu akan memiliki motivasi untuk meniru suatu moel jika memang ada alasan logis untuk melakukannya. Menurut teori behaviorisme Bandura, motivasi ditentukan oleh sifat penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) yang terkait dengan tindakan tersebut. Penguatan maupun hukuman terdiri dari tiga jenis yang sama yaitu yang telah dialami sendiri (past), dijanjikan (promised) yang dapat berupa insentif atau ancaman, dan karena melihat yang dialami atau menimpa modelnya (vicarious).
Keempat tahapan tersebut—attention, retention, reproduction, motivation—hanya dapat berlangsung jika ada usaha atau kendali dari diri sendiri (self-regulation), bukan karena orang lain. Bagi Bandura, tanpa adanya kemandirian tidak akan terjadi proses belajar. Terkait dengan proses pengamatan, kemandirian bertindak ditentukan oleh tiga langkah tindakan, yaitu melalui observasi diri (self-observation), pertimbangan (judgement) tentang dirinya terkait dengan model yang diamati, dan kemudian merespon diri (self-response). Seorang yang mandiri dapat memahami dirinya sendiri, mengetahui sejauh dia mampu melakukan suatu model, dan juga dapat mengenali kelemahan serta kekurangannya (self-concept).
2.      Proses Sosial Penguasaan Bahasa
Perbedaan yang menonjol antara SLT dengan model konvensional yang selama ini mendominasi budaya pembelajaran di sekolah, termasuk mata pelajaran Bahasa Inggris, terletak terutama pada urutan dua unsur pertama, yaitu attention dan retention. Menurut SLT, penguasan suatu unsur dan aturan dalam bentuk simbol-simbol (retention) justru terjadi karena siswa telah terbiasa menggunakan bahasa tersebut untuk melakukan berbagai kegiatan dalam hidupnya sehingga timbul perhatiannya terhadap unsur dan aturan tersebut (attention). Dalam model pembelajaran konvensional, atau biasa dinyatakan dalam formula 3P (presentation-practice-production), proses pembelajaran dimulai dengan guru memaparkan atau menjelaskan unsur dan aturan (presentation), kemudian siswa berlatih menerapkan aturan tersebut dalam latihan-latihan terstruktur (practice), dan baru setelah itu siswa dianggap mampu untuk menerapkan pengetahuannya tersebut dalam lingkup yang lebih luas di luar kelas (production).
Guru yang sudah sangat dipengaruhi oleh budaya 3P kemungkinan akan sulit memahami model SLT, di mana siswa  dituntut melakukan berbagai kegiatan nyata dalam bahasa Inggris sebelum dijelaskan aturannya. Tentunya kegiatan yang menggunakan bahasa Inggris secara utuh (whole language) mencakup penggunaan berbagai aturan kebahasaan secara bersamaan. Hal ini sering menjadi kendala bagi guru untuk memberikan teks secara utuh, karena setiap teks mengandung jauh lebih banyak aturan daripada yang dia sudah sempat ajarkan. Pertanyaan yang akan muncul biasanya adalah “Mana mungkin mereka bisa melakukannya? Kan belum dijelaskan?” Bagi mereka siswa hanya akan menguasai bahasa Inggris jika ada guru yang mampu menjelaskan.
Mereka seolah-olah lupa bahwa banyak orang yang mampu menguasai bahasa Inggris atau keterampilan lain bukan karena diajar, tetapi karena dihadapkan pada keharusan berbahasa Inggris untuk maksud dan tujuan yang nyata. Banyak orang menguasai lebih dari satu bahasa asing tanpa pernah mengikuti pendidikan formal atau pun kursus. Anak-anak putus sekolah yang menjajakan kerajinan di tempat-tempat wisata, seperti Bali, Borobudur, dan tempat-tempat wisata lain di Indonesia cukup fasik menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa Inggris untuk berjualan. Sekarang juga semakin banyak siswa SMP dan SMA yang penguasaan bahasa Inggris melebihi gurunya, bukan karena kursus, tetapi karena sering akses internet, mengikuti siaran-siaran TV dan radio yang menggunakan campuran antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, yang semakin banyak jumlahnya di kota-kota besar.
Mereka seolah-olah juga lupa bahwa proses pembelajaran bahasa Inggris yang sarat dengan penjelasan yang diberikan guru dan buku teks selama ini ternyata juga telah membuat sebagian besar lulusan SLTA tidak mampu berbahasa Inggris dengan baik di dunia nyata, bahkan untuk melakukan hal-hal yang sederhana sekali pun. Dan ternyata sebagian besar juga tidak mampu mencapai tingkat kelulusan 50% dalam ujian nasional, padahal selama setahun terakhir, di Kelas 3, segala usaha dan perhatian guru dan sekolah dicurahkan untuk mempersiapkannya. Yang lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit siswa sekolah menengah yang sebenarnya sangat ingin menguasai bahasa Inggris, tetapi menjadi tidak termotivasi karena mereka menganggap proses pembelajaran tidak langsung menuntut mereka untuk berbahasa Inggris seperti yang mereka inginkan. 
Dilihat dari tingkat kompleksitas teks dan kegunaannya, apabila untuk dapat dikuasai siswa setiap aturan harus diajarkan dan dilatihkan satu per satu, betapa akan sangat panjang waktu yang diperlukan, dan sangat berat beban guru. Apalagi jika yang dihadapi adalah kelas besar yang heterogen. Bagaimana mungkin guru akan melayani semuanya? Tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit lulusan SMA yang mampu berbahasa Inggris dengan baik, dan bahkan lebih baik dari gurunya, padahal banyak di antaranya berasal dari sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas, kelas besar dan heterogen, guru yang tidak mampu berbahasa Inggris dengan baik, dan beban belajar yang tidak sedikit. Banyak juiga di antara mereka yang harus membantu orang sepulang sekolah sehingga tidak ada waktu belajar, namun memiliki penguasaan bahasa Inggris yang cukup baik.
Kenyataan yang mendukung teori SLT tersebut dapat dijelaskan dengan teori Vygotsky yang menyatakan juga bahwa intelektual manusia berkembang karena berusaha menirukan (imitating) tingkah laku orang lain, bukan karena diberi penjelasan. Dengan kemampuan menirukan tersebut, individu dapat menguasai berbagai tingkah laku dan keterampilan orang lain yang belum pernah dilihat atau berada di luar kemampuannya. Menurut Vygotsky, manusia dapat melakukan hal-hal yang melebihi tingkat perkembangannya melalui proses sosial, yaitu dengan bekerjasama atau mendapat bantuan dari lingkungannya. Berikut ini adalah pernyataannya.
… human learning presupposes a specific social nature and a process by which children grow into the intellectual life of those around them.
Children can imitate a variety of actions that go well beyond the limits of their own capabilities. Using imitation, children are capable of doing much more in collctive activity or under the guidance of adults. (Vygotsky, 1978: 88)
Selain pernyataan tersebut di atas, perlu juga dikutip pernyataan lainnya dalam pembahasan tentang perkembangan fungsi intelektual tingkat tinggi (higher mental function), yang menjadi ciri khas manusia.

… the mechanism itself that is the basis of higher mental functions is a copy from the social. All higher mental functions are the essence of internalized relations of a social order, a basis for the social structure of the individual. Their compositions, genetic structure, method of action—in a word, their entire nature—is social; even in being transformed into mental processes, they remain quasisocial. Man as an individual maintains the function of socializing. (Vygotksy, 1997c: 106)
Menurut pernyatan tersebut kecerdasan intelektual manusia pada dasarnya adalah “a copy from the social”, dalam semua aspeknya—susunan pembentuk, struktur genetika, dan cara bertindak. Menurut Vygotsky proses internalisasi ini menjadi penciri utama perkembangan intelegensi pada manusia, sebagai satu-satunya makhluk di bumi yang berkembang, beradaptasi, dan juga mempengaruhi lingkungannya dengan menggunakan alat (tool) atau tanda (sign) yang paling sempurna yang disebut bahasa (speech). Karena bahasa, manusia mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan mendapatkan banyak pengalaman baru. Pengalaman tersebut kemudian diinternalisasi ke dalam untuk mematangkan kecerdasannya, sebagaimana dikutip berikut ini:
Prior to mastering his own behavior, the child begins to master the surrounding with the help of speech. This produces new relations with the environment in addition to the new organization of behavior itself. The creation of these uniquely human forms of behavior later produce the intellect and become the basis of productive work: the specifically human form of the use of tools.   (Vygotsky, 1978: p. 25)
Oleh karena itu menurut Vygotsky, perkembangan intelektual manusia terjadi pada dua tataran: mula-mula pada tataran sosial dan baru kemudian pada tataran intelektual. Pemaparan proses tersebut secara rinci perlu dikutip lengkap di sini untuk memberikan landasan bagi penentuan langkah dalam model PPM.
… the process of internalization consists of a series of transformations:
(a) An operation that intially represents an external activity is reconstructed and begins to occur internally. Of particular importance to the development of higher mental processes is the transformation of sign-using activity, the history and characteristics of which are illustrated by the development of practical intelligence, voluntary attention, and memory.
(b) An interpersonal process is transformed into an intrapersonal one. Every function in the child’s cultural development appears twice: first, on the social level, and later, on the individual level; first, between people (interpsychological), and then inside the child (intrapsychological). This applies equally to voluntary attention, to logical memory, and to the formation of concepts. All the higher functions originate as actual relations between human individuals.
(c) The transformation of an interpersonal process into an intrapersonal one is the result of a long series of developmental events. The process being transformed continues to exist and to change as internal form of activity for a long time before definitely turning inward. For many functions, the stage of external signs last forever, that is, it is their final stage of development. Other functions devlop further and gradually become innner functions. However, they take on the character of inner processes only as a result of a prolonged development.  (Vygotsky, 1978: 56-57)
Pemaparan tersebut menyebutkan bahwa perkembangan manusia pada dasarnya adalah peningkatan kemampuan dalam menggunakan tanda (sign-using activity) untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Pemerolehan cara baru atau yang lebih kompleks adalah dengan meniru orang-orang lain di sekitarnya, secara terus menerus, dalam kurun waktu yang lama. Dalam hal peningkatan kemampuan berwacana, perkembangan terjadi karena adanya kesempatan untuk terpajan dan terlibat dalam proses penggunaan bahasa untuk mencapai berbagai tujuan, tentunya dalam konteks penggunaan untuk memenuhi tuntutan hidup yang sebenarnya. Oleh karena itu hubungan antara guru dan siswa yang didominasi oleh komunikasi satu arah dalam dalam bentuk pemaparan dan penjelasan aturan (presentation) bukanlah lingkungan sosial yang tepat untuk merubah kemampuan manusia menggunakan bahasa Inggris untuk berwacana. Dalam proses tersebut tidak terjadi proses sosial yang secara otentik mengaktifkan ketiga unsur genre—tujuan sosial, struktur logika, dan penggunaan unsur kebahasaan yang sesuai—secara bersamaan dalam konteks kehidupan yang sebenarnya.
Asumsi bahwa perkembangan pada dasarnya proses peniruan juga berimplikasi pada peran guru dalam proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Untuk meningkatkan kemampuan berwacana dalam bahasa Inggris, siswa perlu dihadapkan pada wacana yang memang layak untuk dijadikan model jika tujuannya adalah mencapai penguasaan yang sebaik-baiknya. Semakin dekat teks model yang digunakan dengan  yang dihasilkan atau digunakan oleh penutur asli, maka semakin besar kemungkinan siswa dapat memahami atau menghasilkan teks-teks penutur asli. Begitu juga sebaliknya. Jika demikian halnya maka guru bahasa Inggris, sebaik apa pun, tidak dapat menjadi satu-satunya rujukan bagi siswa. Guru bahasa Inggris pada umumnya belum tentu mampu menjadi model yang baik untuk membaca berita, menulis anekot, peserta debat, menyampaikan pidato, bermain film, nyanyi lagu pop, dsb.
Begitu juga halnya dengan buku teks, yang karena keterbatasannya tidak mungkin dapat menyediakan berbagai jenis teks yang benar-benar otentik yang masing-masing dalam jumlah yang memadai untuk memungkinkan pembelajaran satu teks dalam kurun waktu yang lama. Meskipun dilengkapi dengan kaset atau bentuk rekaman lainnya, buku teks juga tidak mampu menyediakan wacana lisan yang secara alami melibatkan siswa dalam wacana otentik.
Pemajanan terhadap teks-teks yang memang dihasilkan oleh ahlinya dan berasal dari sumber-sumbernya yang sebenarnya (misalnya, koran, majalah, film, penutur bahasa Inggris yang baik) tentunya akan berdampak lebih baik terhadap tingkat penguasaan yang dapat dicapai siswa. Pada prinsipnya, semakin baik kualitas teks dan wacana yang dihadapi, maka semakin baik pula tingkat penguasaan yang kemungkinan akan dicapai siswa. Peran yang lebih baik untuk guru atau buku teks adalah sebagai fasilitator dan alat bantu, yang dapat memberikan bantuan dan balikan untuk memudahkan siswa mendekati kualitas model yang diinginkan.
3.      Peningkatan Kemampuan Berwacana
Proses peniruan dalam perkembangan manusia tidak dapat disamakan dengan mesin fotokopi, karena manusia mampu menirukan tindakan dan tingkah laku di atas kemampuannya. Jika tidak demikian, maka tidak akan terjadi peningkatan kemampuan mengatasi berbagai tuntutan hidup dan lingkungan yang senantiasa berubah. Menurut Vygotsky (1978: 89), “the only ‘good learning’ is that which is in advance of development”. Untuk dapat berkembang, manusia harus selalu berada lingkungan sosial yang memberikan tantangan untuk melakukan tindakan di atas atau di luar kemampuan yang dimiliki saat ini. Pertanyaannya adalah berapa besar tingkat kesulitan yang dapat dihadapi yang memungkinkan terjadinya perkembangan?
Berkenaan dengan tingkat kesulitan ini, Vygotsky dan Piaget memiliki teori yang sejalan meskipun berbeda cara peninjauannya. Menurut Vygotksy, suatu fungsi intelektual akan berkembang jika dihadapkan pada tingkat kesulitan yang berada dalam suatu zona yang dikenal dengan istilah ‘the zone of proximal development’ (selanjutnya, ZPD). Zona ini berada dalam jarak antara tingkat perkembangan yang sebenarnya (sudah dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri) dengan tingkat perkembangan potensial (sudah dapat digunakan tetapi dengan bantuan atau bekerjasama dengan orang yang lebih mampu).
Terlihat dalam definisi tersebut bahwa tingkat kesulitan yang dimaksudkan masih harus bersinggungan dengan tingkat kemampuan yang sudah dikuasai, yang digunakan sebagai ‘pijakan’ untuk dapat merangkak naik ke atas. Pemahaman ini sejalan dengan konsep asimilasi dan akomodasi yang digunakan Piaget untuk mendeskripsikan perkembangan intelektual manusia (dalam Flavell, 1963: 48). Proses akomodasi, yang merupakan esensi dari perkembangan, merupakan proses menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan yang terjadi setelah diawali dengan proses asimilasi, yaitu proses pembentukan persepsi tentang lingkungan sesuai dengan tingkat pemahamannnya.
Menurut pandangan Vygotsky dan Piaget tersebut, kemampuan siswa untuk berwacana akan senantiasa berkembang jika selalu dihadapkan pada situasi di mana mereka perlu menggunakan bahasa Inggris untuk melakukan tindakan yang di atas kemampuan yang dimiliki saat ini, yang masih dapat dikerjakan dengan bekerjasama atau mendapat bantuan dari orang-orang lain yang lebih mampu. Terlihat dalam pemahaman tersebut, bahwa zona perkembangan tersebut tidak dapat direkayasa, tetapi muncul secara alami dalam proses menghadapi kesulitan dalam berwacana.
Pemahaman ini berimplikasi terhadap proses pembelajaran bahasa Inggris di sekolah pada perlunya merubah peran guru dan siswa. Selama ini, sangat mungkin karena adanya anggapan guru sebagai penyampai ilmu, guru senantiasan menjadi ‘nara sumber’ yang membuat semua keputusan termasuk menentukan proses, hasil, maupun penilaiannya, sedangkan siswa hanya mengikuti. Keaktifan siswa diukur dari sejauh mana dia mengikuti program pembelajaran guru. Berdasarkan pandangan Vygotsky dan Piaget, pusat pembelajaran adalah pada siswa yang dihadapkan pada tantangan untuk menghadapi masalah dengan teks-teks yang memiliki tingkat kesulitan pada zona ZPD atau yang dapat diakomodasi oleh sistem kognisi siswa. Peran guru adalah sebagai fasilitator untuk memungkonkan pembelajaran terjadi. Begitu juga halnya dengan teman, yang sebelumnya sama-sama menjadi penerima apapun dari guru, menurut pandangan terakhir, perlu bertindak sebagai rekan kerjasama atau bahkan pembimbing bagi siswa lainnya.
4.      Model Pembelajaran “Pengamatan dan Peniruan Model” (PPM)
Pemaparan di atas memberikan dukungan yang cukup kuat untuk menggunakan unsur dan urutan langkah dalam SLT sebagai dasar untuk pengembangan model pembelajaran PPM, dengan melakukan perubahan dalam penamaan beberapa istilah serta penentuan langkah-langkah berdasarkan teori belajar lain, terutama yang dikembangkan oleh Vygotsky. Selanjutnya akan ditentukan tindakan operasional yang diperlukan untuk memungkinan model tersebut diterapkan dalam konteks pendidikan fomal di SMP dan SMA. Untuk ini perlu dipertimbangkan berbagai permasalahan yang ada di lingkungan pendidikan formal di Indonesia saat ini, terutama kebiasaan guru yang sudah mengakar dalam mengajar dengan pola 3P dan berbasis pada penggunaan buku teks. 
Sebagai langkah awal, perlu ditentukan nama yang sesuai untuk setiap langkah tindakan yang perlu dilakukan dalam model pembelajaran tersebut. Untuk ini, akan digunakan sebagai dasar adalah istilah-istilah yang digunakan dalam SLT, yaitu attention, retention, reproduction, dan motivation. Oleh karena model pembelajaran biasanya merupakan rangkaian tindakan, istilah-istilah tersebut kurang tepat karena merepresentasikan hasil. Untuk secara langsung merepresentasikan langkah, model PPM menggantinya dengan istilah-istilah berikut, yaitu (1) ‘pembiasaan’ (agar tercapai attention), (2) ‘penyadaran unsur dan aturan’ (agar tercapai retention), (3) ‘peniruan’ (agar terjadi reproduction), dan (4) ‘penciptaan suasana yang mendukung’ (agar timbul motivation untuk melakukannya). Berikut ini adalah rincian dari setiap langkah tersebut dalam konteks pembelajaran bahasa asing berbasis genre.
1.         Pembiasaan terhadap Unsur dan Aturan Genre
Proses pembiasaan merupakan proses sosial di mana individu terpajan dan terlibat secara alami dalam berbagai kegiatan komunikatif dalam suatu genre. Tujuannya adalah mencapai satu titik di mana dalam sistem intelektual manusia mulai timbul perhatian (attention) pada unsur dan aturan genre. Pertanyaannya adalah bagaimana proses internalisasi tindakan sosial ke dalam perubahan sistem intelektual dapat terjadi?
Bandura (1977) telah mengidentifikasi beberapa ciri proses sosial yang berpotensi mengarah pada pencapaian tahap attention. Menurutnya, proses penarikan perhatian akan terjadi secara alami jika tidak dirasa sulit oleh siswa (simple), aspek-aspek yang perlu diperhatikan mudah diidentifikasi (distinctive), berlangsung terus menerus dalam waktu lama dan dalam frekuensi yang tinggi dalam kehidupan siswa (prevalent), dianggap berguna oleh siswa (useful), dan juga dianggap memiliki nilai positif oleh siswa (positive). Berdasarkan asumsi tersebut, unsur dan aturan suatu genre dapat masuk dalam perhatian siswa jika siswa terus menerus terlibat dalam kegiatan komunikatif dengan menggunakan teks-teks yang relevan, yang berguna bagi dirinya, dihargai oleh lingkungannya, dengan menggunakan materi dan langkah-langkah kegiatan yang menurut siswa mudah untuk dicerna dan dilakukan, serta secara alami menonjolkan unsur dan aturan genre yang bersangkutan.
Setiap ciri tersebut sejalan dengan pembahasan proses peniruan berdasarkan pandangan Vygotsky. Misalnya, untuk kriteria mudah (simple), Vygotsky sudah memberikan batasan, yaitu dalam zona ZPD. Teks-teks yang harus dibaca, didengar, dan ditulis perlu dipilih agar tidak terlalu sederhana atau pada tingkat penguasaan yang sama dengan yang dikuasai siswa, sehingga tidak akan menghasilkan peningkatan kemampuannya. Jika terlalu sulit, kemungkinan siswa tidak akan dapat melakukan apa-apa atau justru sengaja menghindar. Penyederhanaan teks yang sulit untuk disesuaikan pada tingkat kemampuan siswa akan beresiko menghilangkan otentisitas teks tersebut, terutama jika dilakukan bukan oleh orang yang menguasai genre yang bersangkutan.
Kemudahan dalam berinteraksi dengan teks otentik dapat juga dicapai dengan menggunakan atau melakukannya dalam konteks yang sebenarnya. Misalnya, untuk belajar ngobrol, ruang terbuka dalam keadaan santai akan lebih sesuai dibandingkan dengan ruang kelas yang kalu. Dengan hilangnya kendala yang terkait dengan tempat, siswa akan lebih dapat bebas bertanya jawab dan saling membantu, termasuk meminta bantuan kepada guru. Untuk meniru cara membaca berita, menonton langsung rekaman siaran berita dengan duduk santai dan bersila akan lebih mudah dibandingkan dengan mengikuti cara membaca berita oleh guru, apalagi di dalam ruang kelas yang penuh.
Kedua, aspek-aspek yang perlu dikuasai perlu terpajan secara jelas dalam kegiatan berwacana. Hal ini dapat dicapai melalui proses pembimbingan dalam zona ZPD, misalnya dengan menggunakan teknik pertanyaan yang menuntun (guiding questions), atau penggunaan tanda-tanda seperti cetak tebal atau miring, teknik pengulangan, dsb.
Ketiga, sebagaimana dalam pandangan Vygotsky, pemajanan dan keterlibatan secara terus menerus dalam waktu yang lama (prevalence) dalam wacana yang diinginkan dikuasai siswa juga menjadi salah satu syarat untuk membangkitkan perhatian terhadap unsur dan aturan genre. Hal ini juga dinyatakan oleh Swales (1990) terkait dengan pencapaian tinkat penguasaan unsur dan aturan genre.
Keempat, siswa hanya akan tertarik untuk terlibat dalam suatu wacana jika dia merasakan bahwa tindakan yang dia ingin kuasai memiliki nilai positif serta memiliki kegunaan untuk hidupnya pada saat ini maupun yang akan datang. Hal ini juga disinggung oleh Wells (1999) dalam membahas tentang proses belajar.
2.    Penyadaran Unsur dan Aturan Genre
Sadar akan unsur dan aturan berarti memiliki merepresentasikan hasil pengamatan ke dalam simbol-simbol kognitif, gambar visual, atau penggunaan bahasa, yang dapat disimpan dalam memorinya dalam waktu lama. Terkait dengan penguasaan bahasa asing, tahap ini adalah tahap di mana individu dapat menangkap suatu kejadian komunikatif dalam bentuk teks yang memiliki kejelasan unsur dan aturan genrenya. Tingkat ini dicapai setelah siswa sangat terbiasa memahami atau berkomunikasi aktif dengan berbagai teks dalam genre yang dipelajari.
Tingkat kemampuan ini sangat penting dikuasai jika tingkat literasi yang ingin dicapai sampai pada tahap analisis atau menghasilkan teks dengan ketepatan unsur dan aturan genre yang memadai. Kenyataan membuktikan bahwa tidak semua siswa mampu mencapai tingkat ini untuk setiap genre yang ada. Terkait dengan genre naratif, misalnya, banyak siswa yang mampu memahami cerita dengan baik, tetapi agak sulit mengharapkan mereka untuk dapat menghasilkan sebuah cerita dengan kualitas yang baik. Hal ini bahkan terjadi juga dalam pembelajaran bahasa ibu.
Menjadi sadar akan unsur dan aturan genre ini bukan hanya akan membuat penguasaan terhadap suatu genre menjadi lebih kuat, dan selanjutnya dapat menangkap kelenturan genre dalam menghadapi konteks sosial yang sedang berlangsung. Dalam sebuah pernyataan yang sudah dikutip sebelumnya, Christie (1987: 30) mengindikasikan bahwa jika tujuan penguasan suatu bentuk tingkah laku bukan sekedar untuk bisa hidup (survival), tetapi sampai pada kenginan merubah lingkungan, diperlukan pemahaman yang baik tentang unsur dan aturan tingkah laku yang bersangkutan. Dengan kata lain, jika kreativitas dianggap penting dikuasai, maka diperlukan penguasaan sampai pada tahap ini.
Namun jika tingkat kemampuan yang diharapkan dapat dicapai siswa hanya sampai tingkat di mana ‘yang penting makna tersampaikan atau dapat dipahami’ dan ketepatan unsur dan aturan tidak diperlukan, maka siswa tidak perlu dituntut untu memiliki pemahaman eksplisit tentang itu. Hal ini terbukti pada data Swain (1985: 235-253) tentang penguasaan bahasa Perancis yang dimiliki siswa dengan latar belakang Inggris yang mengikuti program imersi di Kanada. Dalam program tersebut siswa dituntut untuk mengikuti pelajaran dalam bahasa Perancis. Dalam waktu tujuh tahun mereka sudah dapat mengikuti pelajaran dengan baik, dan dapat bergaul dengan guru dan lingkungannya dengan baik pula. Namun karena tidak ditekankan perlunya penyadaran unsur dan aturan kebahasaan, ketepatan mereka dalam aspek ini tidak dapat mencapai tingkat penutur asli.
Implikasinya adalah untuk menentukan apakah pembelajaran bahasa berbasis genre perlu atau tidak perlu sampai pada tahap penyadaran unsur dan aturan sangat tergantung pada tingkat penguasaan yang kemungkinan dapat dicapai siswa pada genre yang bersangkutan.
3.    Peniruan Model.
Tahap ini menunjuk pada kemampuan menghasilkan teks. Tahap ini hanya dapat dilakukan jika pemahaman tentang ketiga unsur pembentuk teks sudah sangat dikuasai. Dalam pembelajaran bahasa asing, perlu diperhatikan juga bahwa tuntutan akan tingkat ketepatan unsur dan aturan genre perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dapat dicapai siswa dalam genre yang bersangkutan. Di samping itu, perlu diingat bahwa tidak ada orang yang mampu mencapai tingkat penguasaan ahli untuk setiap genre yang ada terutama untuk pembuatan teks-teks yang memerlukan bakat dan keahlian khusus, misalnya cerita, puisi, drama, pidato, dan semacamnya. Maka dari itu mengharapkan siswa untuk mencapai tahap ini, untuk setiap genre dan pada setiap tingkat kompetensi dalam bahasa Inggris, bukan hanya tidak mungkin dicapai, tetapi justru akan berakibat pada hilangnya minat siswa untuk menguaai bahasa tersebut.
Namun bagi siswa yang memang mampu, pada genre tertentu, kegiatan menghasilkan teks akan membuatnya semakin terampil serta mencapai tingkat ketapatan yang semakin tinggi. Untuk ini Swain (1995) menekankan perlunya mendorong siswa untuk menghasilkan ‘comprehensible output’, yaitu produk yang menekankan pentingnya ketepatan kebahasaan.
Dalam proses menghasilkan teks, siswa akan menyadari kekurangannya, dan oleh karena berusaha untuk mengatasi kekurangan itu. Dengan demikian semakin baik lah penguasaan unsur dan aturan genre, yang selanjutnya akan berdampak pada kualitas teks yang dihasilkan.
4.    Penciptaan Suasana Pembelajaran yang Menunjang
Penciptaan suasana yang mendukung akan sangat mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar bahasa Inggris di sekolah. Dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris di SMP dan SMA, hal ini sangat tergantung pada guru. Oleh karena itu, untuk menerapkan model PPM ini di konteks pendidikan formal di Indonsia, permasalahan utama yang dihadapi terkait pada faktor guru, yaitu karena kebiasaan dan pamahaman pola pembelajaran 3P yang sudah sangat mengakar. Di lain pihak, model pembelajaran PPM sangat bertolak belakang dalam hal arah dan tuntutan, serta memerlukan konteks pembelajaran yang sangat berbeda dalam berbagai aspeknya, termasuk materi, tempat dan waktu belajar, fasilitas yang diperlukan, serta heterogenitas dalam penentuan tingkat penguasaan dalam setiap genre yang berbeda.
Untuk menerapkan model ini, perlu ada dukungan materi otentik yang tidak sedikit. Terkait dengan ini, banyak guru yang memang tidak mampu membaca, mendengar, atau pun terlibat dengan teks-teks otentik. Terutama dalam penguasaan bahasa lisan, banyak guru yang tidak dapat melafalkan bunyi-bunyi bahasa Inggris dengan baik, sehingga sulit menharapkan mereka menjadi model bagi siswanya bahkan untuk teks-teks yang paling sederhana. Di samping itu, selama ini guru terbiasa dengan teks yang seragam bagi setiap siswa, yang biasanya disediakan dalam buku teks. Tentunya tidak mudah bagi guru menghadapi kelas di mana setiap siswa menggunakan teks yang berbeda-beda pada saat yang sama.
Kesulitan lain terkait pada waktu dan tempat belajar. Selama ini guru terbiasa melakukan kegiatan pembelajaran di kelas dan bertanggung jawab hanya pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan selama tatap muka. Kemungkinan akan sangat sulit bagi guru untuk merencanakan dan mengelola pembelajaran di luar kelas dan di luar jam pelajaran. Juga karena fokus yang terlalu terbatas hanya pada tempat dan waktu belajar di dalam kelas selama ini, banyak guru yang menganggap bahwa media yang tpat untuk pembelajaran adalah media sering digunakan semala ini, seperti gambar, flashcard, chart, dsb. Untuk menerapkan model PPM, yang menekankan otentisitas kegiatan, kemungkinan guru juga akan mengalami kesulitan dalam memanfaatkan berbagai fsilitas yang lebih sesuai, yaitu yang disediakan oleh alam di luar kelas.
Untuk menciptakan suasana yang mendukung keterlaksanaan model PPM di SMP dan SMA, tidak seharusnya dilaksanakan berdasarkan asumsi, tetapi berdasarkan penelitian langsung di lapangan. Maka dari itu, tujuan berikutnya dari penelitian ini adalah menganalisis data yang diperoleh dari penerapan model PPM di SMP an SMA.
C. Depdiknas “Pedoman Umum Pengembangan Syllabus”
1.    Standar Kompetensi Lulusan SMA
       Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan, yakni: Pendidikan Menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan: meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
       Acuan untuk merumuskan kompetensi lulusan dapat berupa landasan yuridis yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan persyaratan yang ditentukan oleh pengguna lulusan atau dunia kerja (workplace). Secara yuridis, kompetensi lulusan SMA dapat dijabarkan dari perumusan tujuan pendidikan yang terdapat di dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,  Bab II Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
       Perumusan aspek-aspek kompetensi secara rinci dapat dilakukan dengan menganalisis kompetensi. Bloom et al. (1956: 17) menganalisis kompetensi menjadi tiga aspek, dengan tingkatan yang berbeda-beda setiap aspeknya, yaitu kompetensi:
a.    kognitif, meliputi tingkatan pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan penilaian.
b.    afektif, meliputi pemberian respons, penilaian, apresiasi, dan internalisasi.
c.    psikomotorik, meliputi keterampilan gerak awal, semi rutin dan rutin.
       Berbeda dengan Bloom, Hall & Jones (1976: 48) membagi kompetensi menjadi 5 macam, yaitu kompetensi:
a.         kognitif yang mencakup pengetahuan, pemahaman, dan perhatian.
b.        afektif yang menyangkut nilai, sikap, minat, dan apresiasi.
c.         Penampilan yang menyangkut demonstrasi keterampilan fisik atau psikomotorik.
d.        produk atau konsekuensi yang menyangkut keterampilan melakukan perubahan terhadap pihak lain.
e.         eksploratif atau ekspresif, menyangkut pemberian pengalaman yang mempunyai nilai kegunaan di masa depan, sebagai hasil samping yang positif.
       Berdasarkan rumusan tersebut, maka kompetensi dapat dikelompokkan menjadi kompetensi yang berkenaan dengan bidang moral keagamaan, kemanusiaan (humaniora), komunikasi, estetika, dan IPTEK.
Hal ini tercantum dalam Permendiknas nomor 23 tahun 2006  tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Pasal 1:
(1)         Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik.
(2)         Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar kompetensi lulusan minimal Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Standar Kompetensi Lulusan minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.
(3)         Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
            SKL Satuan Pendidikan untuk SMA sebagaimana yang tercantum pada lampiran Permendiknas nomor 23 tahun 2006, adalah:
·      Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut sesuai dengan perkembangan remaja;
·      Mengembangkan diri secara optimal dengan memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya
·      Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya;
·      Berpartisipasi dalam penegakan aturan-aturan sosial;
·      Menghargai keberagaman agama, bangsa,  suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global;
·      Membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
·      Menunjukkan  kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan putusan;
·      Menunjukkan kemampuan mengembangkan budaya belajar untuk pemberdayaan diri;
·      Menunjukkan sikap kompetitif dan sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik;
·      Menunjukkan kemampuan  menganalisis dan memecahkan masalah kompleks;
·      Menunjukkan kemampuan menganalisis gejala alam dan sosial;
·      Memanfaatkan lingkungan secara produktif dan  bertanggung jawab;
·      Berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis dalam wadah NKRI;
·      Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya;
·      Mengapresiasi karya seni dan budaya;
·      Menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun kelompok;
·      Menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran jasmani, serta kebersihan lingkungan;
·      Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun;
·      Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
·      Menghargai adanya perbedaan pendapat dan berempati terhadap orang lain;
·      Menunjukkan keterampilan membaca dan menulis naskah secara sistematis dan estetis;
·      Menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Inggris;
·      Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan tinggi.
            Berdasarkan profil kompetensi lulusan tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam  sejumlah SK dan Kompetensi mata pelajaran yang relevan yang diperlukan untuk mencapai kebulatan kompetensi tersebut.
2.     Standar Kompetensi Mata Pelajaran
          Untuk memantau perkembangan mutu pendidikan diperlukan SK. SK dapat didefinisikan sebagai "pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai peserta didik serta tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu mata  pelajaran" (Center for Civ­ics Education,  1997:2). Menurut definisi tersebut, SK mencakup dua hal, yaitu standar isi (content standards), dan standar penampilan (performance stan­dards).
SK yang menyangkut isi berupa pernyataan tentang pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus dikuasai peserta didik dalam mempelajari mata pelajaran tertentu seperti Kewarganegaraan, Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris. SK yang menyangkut tingkat penampilan adalah pernyataan tentang kriteria untuk menentukan tingkat penguasaan peserta didik terhadap SI.
a.    Penentuan Standar Kompetensi Mata Pelajaran
          Perlu diingat kembali, bahwa kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan, ditunjukkan, atau ditampilkan oleh peserta didik sebagai hasil belajar. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka SK, adalah standar kemampuan yang harus dikuasai peserta didik untuk menunjukkan bahwa hasil mempelajari mata pelajaran tertentu berupa penguasaan atas pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu telah dicapai.
Langkah-langkah menganalisis dan mengurutkan SK adalah:
·        menganalisis SK menjadi beberapa KD;
·        mengurutkan KD sesuai dengan keterkaitan baik secara prosedur maupun hierarkis.
          Dick & Carey (1978: 25) membedakan dua pendekatan pokok dalam analisis dan urutan SK di samping pendekatan yang ketiga yakni gabungan antara kedua pendekatan pokok tersebut. Dua pendekatan dimaksud adalah pertama pendekatan prosedural, dan kedua pendekatan hierarkis (berjenjang). Sedangkan gabungan antara kedua pendekatan tersebut dinamakan pendekatan kombinasi.
§  Pendekatan Prosedural
          Pendekatan prosedural (procedural approach) dipakai bila SK yang harus dikuasai berupa serangkaian langkah-langkah secara urut dalam mengerjakan suatu tugas pembelajaran.
Diagram 2. Pendekatan Prosedural











Rounded Rectangle: 1
Rounded Rectangle: 2
Rounded Rectangle: 3





 


           Contoh dalam pelajaran Ilmu Sosial Terpadu (IST) ada beberapa SK yang diharapkan dapat dipelajari secara berurutan. Guru diharapkan dapat menyajikan mana yang akan didahulukan. Misalnya kompetensi; (1) Mengidentifikasi konsep-konsep yang membangun IST, (2) Mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, dan (3) Mendeskripsikan perubahan sosial budaya masyarakat. Dari ketiga kompetensi tersebut, maka kompetensi untuk mengidentifikasi konsep-konsep yang membangun IST harus paling dahulu dipelajari, setelah itu baru mempelajari dua kompetensi berikutnya. Di antara kedua kompetensi berikutnya maka penguasaan terhadap kompetensi mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya lebih didahulukan agar peserta didik dengan mudah mendeskripsikan perubahan sosial budaya masyarakat, mengingat perubahan yang terjadi justru sebagai salah satu akibat hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Bila disajikan dalam bentuk diagram dapat dilihat pada Diagram 2 berikut.
Diagram 2. Pendekatan Prosedural


 




            Beberapa hal yang perlu dicatat dari contoh tersebut:
·         peserta didik harus menguasai SK tersebut secara berurutan.
·         Masing-masing SK dapat diajarkan secara terpisah (independent)
·         Hasil (output) dari setiap langkah merupakan masukan (input) untuk langkah berikutnya.

Pendekatan Hierarkis
Pendekatan hierarkis menunjukkan hubungan yang bersifat subordinatif antara beberapa SK yang ingin dicapai. Dengan demikian ada yang mendahului dan ada yang kemudian. SK yang mendahului merupakan prasyarat bagi SK berikutnya.
          Untuk mengidentifikasi beberapa SK yang harus dipelajari lebih dulu agar peserta didik dapat mencapai SK yang lebih tinggi dilakukan dengan jalan mengajukan pertanyaan "Apakah yang harus sudah dikuasai oleh peserta didik, agar dengan pengajaran yang seminimal mungkin dapat diketahui SK yang diperlukan sebelum peserta didik dapat menguasai SK berikutnya?"
          Untuk memperjelas, berikut disajikan diagram analisis SK menurut pendekatan hierarkis dalam mata pelajaran matematika.
Diagram 2. Pendekatan Hierarkis


 










Langkah-langkah pengembangan sylabus
a.    Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Mengkaji SK dan KD mata pelajaran sebagaimana tercantum pada SI, dengan  memperhatikan hal-hal berikut:
1.      Urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi, tidak harus selalu sesuai dengan urutan yang ada di SI dalam tingkat;
2.      Keterkaitan antara SK dan KD dalam mata pelajaran;
3.      Keterkaitan antar KD pada mata pelajaran;
4.      Keterkaitan antara SK dan KD antar mata pelajaran.
b.   Mengidentifikasi Materi Pembelajaran
Mengidentifikasi materi pembelajaran yang menunjang pencapaian KD dengan mempertimbangkan:
·         potensi peserta didik;
·         karakteristik mata pelajaran;
·         relevansi dengan karakteristik daerah;
·         tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan spritual peserta didik;
·         kebermanfaatan bagi peserta didik;
·         struktur keilmuan;
·         aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
·         relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan
·         alokasi waktu.
1.  Melakukan Pemetaan Kompetensi
a.          mengidentifikasi SK, KD dan materi pembelajaran
b.          Mengelompokkan SK, KD dan materi pembelajaran
c.          Menyusun SK, KD sesuai dengan keterkaitan
2.  Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
       Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian KD. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. 
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah:
·         Disusun untuk memberikan bantuan kepada para pendidik (guru), agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.
·         Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik  secara berurutan untuk mencapai KD.
·         Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan hierarki konsep materi pembelajaran. 
·         Rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar peserta didik, yaitu kegiatan peserta didik dan materi.
3.      Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi
          Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.
          Kata Kerja Operasional (KKO) indikator dimulai dari tingkatan berpikir mudah ke sukar, sederhana ke kompleks, dekat ke jauh, dan dari konkret ke abstrak (bukan sebaliknya).
            Kata kerja operasional pada KD benar-benar terwakili dan teruji akurasinya pada deskripsi yang ada di kata kerja operasional indikator.
4.      Penentuan Jenis Penilaian
          Penilaian pencapaian KD peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
          Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
5.      Menentukan Alokasi Waktu
          Penentuan alokasi waktu pada setiap KD didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah KD, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan KD. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai KD yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam.
6.    Menentukan Sumber Belajar
          Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. Penulisan buku sumber harus sesuai kaidah yang berlaku dalam Bahasa Indonesia.
          Penentuan sumber belajar didasarkan pada SK dan KD serta materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.
D. Pembelajaran Cooperative Learning (Anita Lie. 2007. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo)
1. Cooperative Learning
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.
Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yaitu :
1.Saling ketergantungan positif
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
2.Tanggung jawab perseorangan
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
3.Tatap muka
Dalam pembelajaran Cooperative Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4.Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
5.Evaluasi proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada table berikut ini
Langkah-Langkah Teknik Jigsaw
Tabel Sintaks Pembelajaran Kooperatif
B. Tujuan Pembelajaran Cooperative Learning
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
1.Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2.Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3.Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
C. Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 1997) :
Kelompok Asal
                                      Cooperative Learning1
Kelompok Ahli
Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw
Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :
  • Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
                                Cooperative Learning2
Gambar Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw
  • Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
  • Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
  • Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
  • Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
  • Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.
  2. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
  3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
  4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
  5. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
  1. Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
  2. Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.
  3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
  4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
  5. Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
2.    Contextual Teaching Learning
wpe1.jpg (15552 bytes)
·         Pengertian Pembelajaran Kontekstual
      Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual tidak ada sebuah definisi atau pengertian tunggal. Setiap pakar dan komunitas pakar memberikan definisi beragam. Namun mereka bersepakat bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang mendorong pembelajar untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa yang dipelajari dengan realitas, lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini (Moh.Imam Farisi,2005).
      Beberapa definisi pembelajaran kontekstual yang pernah ditulis dalam beberapa sumber, yang dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam bukunya “ Kontekstual dan penerapannya dalam KBK “.
               1. Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu, dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, system CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/ merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan assessment autentik.
               2. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riel yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka sebagai angota keluarga, anggota masyarakat, siswa, dan selaku pekerja. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.
               3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar yang bebas.
      Principals, school boards, parents, and other members of the community must support this approach… to increase its probability of success" (Carr, M., et al., 1999, p.2). For CTL to be successful for all students, a school must value and support the approach. Newmann and Wehlage (1997) describe a system of support for authentic learning that has been adapted to describe supports for CTL.
·         Delapan Komponen Utama Dalam Sistem Pembelajaran Kontekstual
                           1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat ( learning by doing ).
               2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan ( doing significant work ). Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
               3. Belajar yang diatur sendiri ( self-regulated learning ). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya / hasilnya yang sifatnya nyata.
               4. Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
               5.  Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat menganalsis, membuat sintetis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan buki-bukti.
               6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara pribadinya : mengetahui, memberi perhatian, memilki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
               7.  Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai standard yang tinggi : mengidentifikasi tujuan dan memoivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut excellence
               8.  Menggunakan penilaian autentik ( using authentic assessment ). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
Prinsip-prinsip pembelajaran
1.      Melakukan hubungan yang bermakna
2.      Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan
3.      Belajar yang diatur sendiri
4.      Bekerjasama
5.      Berfikir kritis dan kreatif
6.      Memelihara atau mengasuh pribadi siswa
7.      Mencapai standar yang tinggi
8.      Terdeteksi oleh penilaian autentik
Kata-Kata Kunci Pembelajaran CTL
1.    Real World Learning
2.    Mengutamakan Pengalaman Nyata
3.    Berpikir Tingkat Tinggi
4.    Berpusat Pada Siswa
5.    Siswa Aktif, Kritis, Dan Kreatif 
6.    Pengetahuan Bermakna Dalam Kehidupan
7.    Dekat Dengan Kehidupan Nyata
8.    Perubahan Prilaku 
9.    Siswa Praktek Bukan Menghafal
10.      Learning Bukan Teaching
11.      Pendidikan (Education) Bukan Pengajaran(Instruction)
12.      Pembentukan 'Manusia'
13.  Memecahkan Masalah 
14.  Siswa 'Akting' Guru Mengarahkan 
15.  Hasil Belajar Diukur Dengan Berbagai Cara Bukan Hanya Dengan Test 
3.         Langkah-langkah atau prosedur pembelajarannya
          CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut.
a.         Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b.         Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
c.         Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d.        Ciptakan masyarakat belajar.
e.         Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f.          Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g.          Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
3.    PAIKEM 
      PAIKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan.Pembelajaran inovatif bisa mengadaptasi dari model pembelajaran yang menyenangkan. Learning is fun merupakan kunci yang diterapkan dalam pembelajaran inovatif.
      Kreatif dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (“time on task”) tinggi.
      Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah perhatian terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.
      PAIKEM (pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) salah satu metode pembelajaran berbasis lingkungan. Metode ini mampu melibatkan siswa secara langsung dengan berbagai pengenalan terhadap lingkungan.
Konsep Pendekatan SETS (Sains Environment Technology and Society)
            Pendekatan sains-teknologi-masyarakat (SETS = science, environment, technology, society) me rupakan salah satu model atau pendekatan untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan sains yang cepat dan menjawab perubahan para digma di atas. Pendekatan SETS pada awalnya dikembangkan untuk pembelajaran sains, khususnya sains alam, walaupun dapat dikaji penggunaannya pada pembela jaran bidang-bidang lain.
            Kerangka pembelajaran SETS yang menempatkan tanggung jawab sosial sebagai tujuan utama dalam pembelajaran sains, akhirnya menuntut perubahan tidak hanya pada metode pembelajaran di kelas, tetapi juga perubahan mendasar pada kurikulum. Beberapa negera telah berusaha menempatkan pembelajaran berbasis SETS dalam kurikulum sekolah menengah mereka, seperti Kanada(4) dan Australia, tetapi beberapa laporan menyebutkan bahwa tidaklah mudah untuk akhirnya benar-benar diterapkan di kelas, karena diperlukan pengenal an yang intensif kepada guru-guru sekolah menengah.
            Walaupun para pendukung pembelajaran SETS selalu menekankan pentingnya perubahan standar atau kurikulum, pada artikel ini, tidak akan dibahas pendidikan berbasis salingtemas yang memer lukan penyesuaian standar isi. Pembelajaran salingtemas hanya akan dibahas dalam konteks me tode atau model pembelajaran, untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan dalam kurikulum yang ada. Dengan demikian, semangat dalam penerapan pembelajaran berbasis SETS yang diangkat dalam artikel ini hanyalah untuk tujuan melek sains, atau tujuan pe ningkatan motivasi dan pe mahaman peserta didik dalam pembelajaran sains, atau paling jauh bisa mewarnai penyusunan kurikulum di tingkat satuan pendidikan.
a.      Prinsip-prinsip pembelajaran
1.     Berpusat pada peserta didik
2.    Mengembangkan kreativitas peserta didik
3.    Suasana yang menarik, menyenangkan, dan bermakna
4.    Mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai dan makna
5.    Belajar melalui berbuat, peserta didik aktif berbuat.
6.    Menekankan pada penggalian, penemuan, dan penciptaan.
7.    Pembelajaran dalam situasi nyata dan konteks sebenarnya
8.    Menggunakan pembelajaran tuntas di sekolah

b.      Langkah-langkah atau prosedur pembelajarannya
            Penerapan PAIKEM dalam Proses Pembelajaran
Secara garis besar, PAIKEM dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
3. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
4. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
5. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.