FINAL EXAMINATION
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pendidikan
merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa
suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru
sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya
interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks
penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya
secara sistematis dan berpedoman pada seperangkatn aturan dan rencana tentang
pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum
secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan
berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat
direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia
pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran.
Berdasarkan
pengamatan riil di lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang
meningkatkan kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran ekonomi. Masih
banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton
dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku
dan didominasi oleh sang guru.
roses
pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada
pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep
bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam
kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru
menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan
mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk
bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga
siswa menjadi pasif.
Upaya
peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat
pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana
kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model
pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk
berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi
belajar yang optimal.
Proses
pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya
partisipasi aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada
siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas
lebih hidup.
.
2. Rumusan
Masalah
1) Sebutkan
macam-macam desain syllabus menurut Dubin?
2) Jelaskan
pengertian Pembelajaran bahasa menurut
teory Siti Wachdia!
3) Standar
kompetensi apa saja dalam Pedoman
Pengembangan Syllabus menurut Depdiknas?
4) Jelaskan
3. Tujuan
Tujuan
pembelajaran ini untuk mengetahui perkembangan syllabus mengetahui macam-macam
desain syllabus dan pembelajaran bahasa
dan pada acuan Standar kompetensi yang berlaku.
BAB
II
PEMBAHASAN
1) A. Course Design: Developing Program and Materials for Language
Learning” (Fraida Dubin an
Elite Olsthain)
1.
Focusing on Language
Content in a communicative syllabus
a. Konsep dan pengertian
Dalam sebuah silabus yang
komunikatif, dimensi isi bahasa telah meluas untuk memasukkan arti notional dan
fungsional bersamaan dengan struktur, situasi dan tema. Dalam Pengintegrasian
arti notional dan fungsional terhadap grammar, isi tematic, dan lexis, saran-saran dipresentasikan
dalam bagaimana untuk mengintegrasikan berbagai macam element perluasan isi
pada silabus yang komunukatif. Apa yang diperlukan adalah untuk mengembangkan
bentuk-bentuk inventoris terpisah, gagasan (konsep), fungsi-fungsi, tema-tema
dan kosa kata untuk audien tertentu. Dalam pandangan discrete dan holistic: the
horns of dilema, itu ditunjukkan bahwa keberadaan dilema dalam tiga dimensi
pada silabus: isi bahasa, proses, dan produk.
Istilah silabus dapat didefinisikan sebagai
"Garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi
pelajaran" (Salim, 1987: 98). Istilah silabus digunakan untuk menyebut
suatu produk pengembangan kurikulum berupa penjabaran lebih lanjut dari SK dan KD yang ingin dicapai, dan materi pokok serta uraian materi yang
perlu dipelajari peserta didik dalam rangka mencapai SK dan KD. Seperti diketahui, dalam
pengembangan kurikulum dan pembelajaran, terlebih dahulu perlu ditentukan SK
yang berisikan kebulatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang ingin
dicapai, materi yang harus dipelajari, pengalaman belajar yang harus dilakukan,
dan sistem evaluasi untuk mengetahui pencapaian SK. Dengan kata lain,
pengembangan kurikulum dan pembelajaran menjawab pertanyaan (1) Apa yang akan
diajarkan (SK, KD, dan Materi
Pembelajaran); (2) Bagaimana cara
melaksanakan kegiatan
pembelajaran, metode, media); (3) Bagaimana dapat diketahui bahwa SK dan
KD telah tercapai (indikator dan penilaian).
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu
dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup SK, KD, materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi,
penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
Silabus bermanfaat sebagai pedoman dalam pengembangan
pembelajaran lebih lanjut, seperti pembuatan rencana pembelajaran, pengelolaan
kegiatan pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian. Silabus merupakan
sumber pokok dalam penyusunan rencana pembelajaran, baik rencana pembelajaran
untuk satu SK maupun satu KD. Silabus juga bermanfaat sebagai pedoman untuk
merencanakan pengelolaan kegiatan pembelajaran, misalnya kegiatan belajar
secara klasikal, kelompok kecil, atau pembelajaran secara individual. Demikian
pula, silabus sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem penilaian. Dalam
pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi sistem penilaian selalu mengacu
pada SK, KD, dan indikator yang terdapat di dalam silabus.
b.
Prinsip-prinsip pembelajaran dan
pengembangan syllabus
1.
Hadir bentuk linguistik
sistematis untuk memungkinkan peserta didik untuk mengekspresikan
gagasan-gagasan dasar dari bahasa. Selanjutnya, penekanan khusus
harus ditempatkan pada perbedaan Interlingua berkaitan dengan realisasi
gagasan.
2.
Gunakan konteks komunikatif
untuk memungkinkan peserta didik untuk berinteraksi dalam berbagai fungsi
bahasa yang komunikatif. Sekali lagi, penekanan harus ditempatkan pada sosial budaya bahasa
fitur khusus untuk menghasilkan ucapan-ucapan yang menghargai latar belakang
budaya di antara banyak kemungkinan pilihan yang tersedia untuk mengekspresikan
bahan fungsi harus dimulai dengan mereka yang sangat sering dalam pidato asli
dan hanya secara bertahap diperluas ke meliputi lebih jarang sekali
(Canale dan Swain 1980)
3. Menggunakan berbagai jenis teks baik dalam bentuk lisan dan
tertulis dalam rangka untuk mengembangkan kemampuan komunikatif dalam semua
kemampuan bahasa, kecuali panggilan khusus untuk penekanan pada satu atau dua
kemampuan bahasa bukan pada semua.
Untuk memperoleh silabus yang baik, dalam penyusunan silabus perlu
memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1.
Ilmiah
Keseluruhan materi dan
kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Di samping itu, strategi pembelajaran
yang dirancang dalam silabus perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran
dan teori belajar.
2.
Relevan
Cakupan, kedalaman,
tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus harus disesuaikan
dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual
peserta didik. Prinsip ini mendasari
pengembangan silabus, baik dalam pemilihan materi pembelajaran, strategi dan pendekatan dalam kegiatan
pembelajaran, penetapan waktu, strategi penilaian maupun dalam mempertimbangkan
kebutuhan media dan alat pembelajaran. Kesesuaian antara isi dan pendekatan
pembelajaran yang tercermin dalam materi pembelajaran dan kegiatan pembelajaran
pada silabus dengan tingkat perkembangan peserta didik akan mempengaruhi
kebermaknaan pembelajaran.
3. Sistematis
Komponen-komponen
silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi. SK dan
KD merupakan acuan utama dalam pengembangan silabus. Dari kedua komponen ini,
ditentukan indikator pencapaian, dipilih materi pembelajaran yang diperlukan,
strategi pembelajaran yang sesuai, kebutuhan waktu dan media, serta teknik dan instrumen penilaian yang
tepat untuk mengetahui pencapaian kompetensi tersebut.
4. Konsisten
Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara KD, indikator,
materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, serta teknik dan
instrumen penilaian. Dengan prinsip konsistensi ini, pemilihan materi pembelajaran, penetapan
strategi dan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, penggunaan sumber dan
media pembelajaran, serta penetapan teknik dan penyusunan instrumen penilaian
semata-mata diarahkan pada pencapaian KD dalam rangka pencapaian SK.
5.
Memadai
Cakupan indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber
belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian KD. Dengan prinsip ini, maka tuntutan kompetensi
harus dapat terpenuhi dengan pengembangan materi pembelajaran dan kegiatan
pembelajaran yang dikembangkan. Sebagai contoh, jika SK dan KD menuntut
kemampuan menganalisis suatu obyek belajar, maka indikator pencapaian
kompetensi, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan teknik serta
instrumen penilaian harus secara memadai mendukung kemampuan untuk
menganalisis.
6.
Aktual
dan Kontekstual
Cakupan indikator, materi pembelajaran, pengalaman belajar, sumber belajar,
dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni
mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi. Banyak fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan
dengan materi dan dapat mendukung kemudahan dalam menguasai kompetensi perlu
dimanfaatkan dalam pengembangan pembelajaran.
Di samping itu, penggunaan media dan sumber belajar berbasis teknologi
informasi, seperti komputer dan internet perlu dioptimalkan, tidak hanya untuk
pencapaian kompetensi, melainkan juga untuk menanamkan kebiasaan mencari
informasi yang lebih luas kepada peserta didik.
7.
Fleksibel
Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik,
pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan kebutuhan masyarakat. Fleksibilitas silabus ini
memungkinkan pengembangan dan penyesuaian silabus dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat.
8.
Menyeluruh
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi, baik kognitif,
afektif, maupun psikomotor. Prinsip ini hendaknya dipertimbangkan, baik dalam
mengembangkan materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, maupun penilaiannya.
Kegiatan pembelajaran dalam silabus perlu dirancang
sedemikian rupa sehingga peserta didik memiliki keleluasaan untuk mengembangkan
kemampuannya, bukan hanya kemampuan kognitif saja, melainkan juga dapat
mempertajam kemampuan afektif dan psikomotoriknya serta dapat secara optimal
melatih kecakapan hidup (life skill).
c. Langkah-langkah atau prosedur pembelajaran dan
pengembangan syllabus
·
Analysis(analisa
kebutuhan, identifikasi masalah, dan identifikasi tugas pembelajaran)
·
Design(merumuskan
tujuan pembelajaran yang SMAR; specific, measurable, applicable, and
realistic, menyusun tes, memilih strategi, metode, dan media pembelajaran
yang tepat)
·
Development(mewujudkan
desain tadi dalam bentuk nyata, misalnya dengan mencetak modul, kemudian
mengembangkan modul dengan sebaik mungkin).
·
Implementation(langkah
nyata menerapkan sistem pembelajaran yang kita buat.
·
Evaluation(sudah
efektifkah sistem pembelajaran yang kita kembangkan.
Prinsip perkembangan syllabus
a.
Mengkaji Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar
Mengkaji SK dan KD mata
pelajaran sebagaimana tercantum pada SI, dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
1.
urutan berdasarkan hierarki konsep
disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan
materi, tidak harus selalu sesuai
dengan urutan yang ada di SI dalam tingkat;
2. keterkaitan antara SK dan KD dalam mata pelajaran;
3. keterkaitan antar KD pada mata pelajaran;
4.
keterkaitan antara SK dan KD antar mata pelajaran.
b.
Mengidentifikasi
Materi Pembelajaran
Mengidentifikasi materi pembelajaran yang menunjang
pencapaian KD dengan mempertimbangkan:
·
potensi
peserta didik;
·
karakteristik
mata pelajaran;
·
relevansi
dengan karakteristik daerah;
·
tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional,
sosial dan spritual peserta didik;
·
kebermanfaatan
bagi peserta didik;
·
struktur
keilmuan;
·
aktualitas,
kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
·
relevansi
dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan
·
alokasi
waktu.
c.
Melakukan
Pemetaan Kompetensi
2.
Mengelompokkan
SK, KD dan materi pembelajaran
3.
Menyusun
SK, KD sesuai dengan keterkaitan
d.
Mengembangkan
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang
melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik,
peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka
pencapaian KD. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui
penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta
didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta
didik.
Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah:
·
Disusun untuk memberikan bantuan kepada
para pendidik (guru), agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara
profesional.
·
Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian
kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai KD.
·
Penentuan urutan kegiatan pembelajaran
harus sesuai dengan hierarki konsep materi pembelajaran.
·
Rumusan pernyataan dalam kegiatan
pembelajaran minimal mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan
pengalaman belajar peserta didik, yaitu kegiatan peserta didik dan materi.
e.
Merumuskan Indikator Pencapaian
Kompetensi
Indikator
merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang
dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Indikator
dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan
pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang
terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk
menyusun alat penilaian.
Kata Kerja Operasional (KKO) indikator dimulai dari
tingkatan berpikir mudah ke sukar, sederhana ke kompleks, dekat ke jauh, dan
dari konkret ke abstrak (bukan sebaliknya).
Kata kerja operasional pada KD benar-benar terwakili
dan teruji akurasinya pada deskripsi yang ada di kata kerja operasional
indikator.
f.
Penentuan Jenis Penilaian
Penilaian
pencapaian KD peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian
dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun
lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa
tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
Penilaian
merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan
data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam
pengambilan keputusan.
g.
Menentukan Alokasi Waktu
Penentuan
alokasi waktu pada setiap KD didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi
waktu mata pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah KD, keluasan,
kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan KD. Alokasi waktu yang
dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai KD
yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam.
h.
Menentukan Sumber Belajar
Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan
yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan
elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.
Penulisan buku sumber harus sesuai kaidah yang berlaku dalam Bahasa Indonesia.
Penentuan sumber belajar didasarkan pada SK dan KD
serta materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi.
2.
Focusing on Process:
material that deal with socio-cultural appropriateness
a. Konsep dan pengertian
Focusing on Process: material that deal with socio-cultural appropriateness
atau dalam bahasa Indonesia adalah fokus pada proses: material yang berkaitan
dengan sosio budaya yang tepat berarti materi-materi yang diberikan dalam
proses pembelajaran sangat berkaitan dengan nilai budaya dalam masyarakat yang
tepat. Faktanya, hubungan antara jenis latihan dan isi sosial budaya baru saja
mulai untuk dijelajahi. Berurusan dengan norma-norma sosial dalam bahasa
mungkin akan lebih cocok, namun, untuk proses holistik daripada berfokus pada
elemen diskrit.
Dalam Communicative Learning, factor budaya juga sangat ditekankan.
Sehingga beberapa prinsip dan metode pembelajaran diterapkan dalam system ini.
-
Sosiodrama
dan Bermain Peranan (Role play Method)
Role Play atau bermain peran
adalah metode pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untk
mengkreasi peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau
kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang. Bermain peran (Role
play) di dalam kelas, seperti yang diungkapkan oleh Ladousse (dalam Budden)
dapat menambah variasi dalam mengajar, juga merupakan perubahan langkah dan
kesempatan dalam pembentukan bahasa. Bermain peran (role play) atau kegiatan kreatif dan imajinatif semacam ini
akan merangsang mahasiswa untuk berimajinasi dan menantang mereka untuk
berfikir dan berbicara (Sadow, dalam Tompkins; 1998). Dalam bahasa Inggris,
role play memiliki beberapa istilah yang memiliki arti yang hampir sama, yakni
simulation, game, role play, simulation-game, role-play simulation dan role-playing
game (Crookall dan Oxford dalam Tompkins; 1998). Model latihan role play dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
individual role-playing exercises dan interactive role-playing exercises.
-
Individual
Role-Playing Exercises
Salah satu contoh kegiatan pada model pertama ini adalah; mahasiswa
meneliti dan menulis atau mempresentasikan masalah dengan cara dan sudut
pandang karakter yang harus diperankan. Inilah yang menjadi tantangan dari
model ini.
-
Interactive
Role-Playing Exercises
Model kedua yang paling umum dilakukan adalah drama, debat atau
collaborative problem-solving exercises.
b. Prinsip-prinsip pembelajaran
Dalam pembelajaran
Communicative Learnig, prinsip-prinsip pembelajaran yang diperhatikan adalah
sebagai berikut:
-
Menggabungkan
Tata Bahasa Norma Sosial: Sebuah Pandangan Unsur Yang Berlainan
Konten bahasa diperluas untuk
mencakup hal-hal sosio budaya serta
bentuk gramatikal, penulis ditantang untuk menemukan model untuk menggabungkan materi-materi. Dalam melakukannya, mereka menghadapi
beberapa masalah menarik. Misalnya, kapan, mengapa, dan bagaimana seharusnya
kita berurusan dengan aspek sosiolinguistic? Apakah aturan kesesuaian sosial
yang diperlukan untuk semua program? Apakah konten yang harus dengan tegas
disertakan? Dll.
Komunikasi lintas budaya
merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada
perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi
yang berbeda kebudayaan. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem
nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda,
juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa,
aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam
setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi
komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada
“budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu.
Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan
karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai
budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk
dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah
(desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
-
Naskah
Roleplays: Pandangan Holistik yang Mengandung Sosio Budaya
Satu latihan yang terdapat
dalam periode komunikasi, roleplay adalah suatu metode yang menyeluruh, latihan
holistic bahasa. Untuk penulis, roleplay adalah latihan beresiko tinggi, namun
mewakili suatu susunan dugaan tujuan komunikatif dalam ilmu mendidik bahasa,
seringkali roleplay digunakan tanpa koneksi yang jelas menuju tujuan yang
spesifik, dalam roleplay pelajar akan mendapatkan norma sosial yang tersirat yang
sesuai dengan target budaya bahasa oleh ciri-ciri sebuah anggota masyarakat.
Dalam hal ini, pelajar diharuskan untuk mendapatkan informasi yang mereka
butuhkan untuk memerankan suatu identitas tersebut.
Tapi selain itu,
mempertimbangkan bahwa dalam profesi pengajaran bahasa, roleplay menjadi sebuah
istilah penutup untuk berbagai jenis. Dengan demikian, penulis cenderung
menggunakan istilah seperti ‘warm-up’, ‘improvisation’, ‘simulation’, and
‘socio-drama’, ada sedikit perbedaan diantara istilah tersebut. Sebenarnya,
warm-up dan improvisation sudah muncul dalam materi pengajaran bahasa dari
dunia teater (Spolin 1963). Simulations dan socio-drama, bukan masalah asal
mula mereka, dengan cermat tergambarkan sebagai latihan pengajaran bahasa kelas
(Jones 1982; Scarcella 1978).
c. Langkah-langkah atau prosedur pembelajarannya
Dapatkah Roleplay sedikit menjadi hal yang berbahaya? Kemungkinan besar,
jika digunakan tanpa pandang bulu. Untuk menghindari beberapa jebakan, penulis
disarankan untuk:
-
Hindari
Menempatkan Wine Lama di Botol Baru
Sebagaimana ditunjukkan pada
ilustrasi 7.8 dan 7.9, roleplay telah digunakan sebagai judul pada latihan
typesof banyak. Dari dialog kuno untuk keluar - dan-wawancara antara mitra.
Puting label baru pada tipe, latihan lama akrab seperti dialog bukan merupakan
strategi yang efektif yang digunakan untuk mendorong tujuan kompetensi
komunikatif. Ketika tidak ada perhatian terhadap peran dan implikasi bagi
pelajar dalam asumsi peran tersebut, maka penulis lebih baik disarankan untuk tidak
menggunakan label.
-
Memberikan
Penjelasan
Setiap unit bahasa yang baik dibangun atau pelajaran membutuhkan fokus,
suatu konsentrasi yang penulis telah dipilih. Bersih, penulis dipertimbangkan
adalah Roleplaying latihan optimal untuk fokus ini? Jika bermain di bahan untuk
praktek kelancaran, tetapi tanpa isi maka penulis perlu mempertimbangkan:
'Apakah saya menulis untuk pelajar aktor-in-tra atau bahasa? " Jika
roleplay adalah diperuntukkan untuk membantu peserta didik memahami sosial non
bahasa target, maka harus memberikan informasi tentang bot peran yang peserta
didik menanggung dan situasi sosial dalam peran harus diberlakukan.
-
Mengadakan
persiapan
Apabila kita langsung
melakukan roleplay tanpa persiapan yang matang merupakan kegagalan. Syaiful Imran
(2009) www.ipotes.com, menjelaskan langkah-langkah role playing atau
bermain peran, yaitu : (1) Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan
ditampilkan, (2) menunjuk beberapa murid untuk mempelajari skenario dalam waktu
beberapa hari ,(3) guru membentuk kelompok murid yang anggotanya 5 orang, (4)
memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai, (5) memanggil para
murid yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan,
(6) masing-masing murid berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang
sedang diperagakan, (7) setelah selesai ditampilkan, masing-masing murid
diberikan lembar kerja untuk membahas penampilan masing-masing kelompok, (8)
masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya, dan (9) guru
memberikan kesimpulan secara umum.
-
Memutuskan:
memainkan peran sendiri atau orang lain?
Dalam role playing murid
diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan
praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama
teman-temannya pada situasi tertentu. Namun, dalam satu sisi siswa dibuat
merasa terjamin atau aman menggunakan topeng orang lain. Seperti Pipe (1983)
mengatakan losing one’s own identity is threatening (Dubin,1987: 141).
Pelajar seharusnya memainkan peran mereka sendiri ataupun orang lain tergantung
pusat dan segi yang berhubungan dengan konteks dari pelajaran itu sendiri
-
Memberikan
motivasi
Setelah memilih untuk
memainkan peran orang lain, lalu penulis harus mengembangkan faktor motivasi
yang kuat, supaya para pelajar semangat untuk memainkan peran orang lain.
Berikan para peserta sebuah uraian tentang peran mereka khususnya yang mencakup
motif-motif dan interes-interes peran itu daripada hanya sekedar permainan
layar yang harus dimainkan. Berikan peserta beberapa menit untuk masuk dalam
peran mereka. H. Douglas Brown (2007:183) menyatakan motivasi adalah istilah
serba guna yang paling sering dipakai untuk menjelaskan keberhasilan dan
kegagalan di hampir semua pekerjaan yang kompleks. Asumsi ini tidak salah
karena tak terhitung studi dan eksperimen dalam pembelajaran manusia yang
menunjukan bahwa motivasi adalah kunci bagi pembelajaran pada
umumnya.(Weiner,1986;Deci,1975;Maslow;1970).
1.
Focusing on product:
material that deal with the reading skill
a.
Konsep dan pengertian
Reading adalah salah satu bagian dari empat kemampuan yang utama
dalam bahasa Inggris. Penyajian atau persiapan materi yang sesuai menjadi salah
satu faktor penentu keberhasilan sebuah pengajaran bahasa Inggris, khususnya
dalam pengembangan kemampuan membaca (reading skill). Persiapan materi bacaan
untuk pengajaran bahasa Inggris pada fungsi bahasa Inggris sebagai
second-language menggambarkan sebuah benturan yang dicontohkan pada teori dalam
model praktek.
Oleh karena itu, untuk
menghadapi kendala yang berhubungan dengan kemampuan dalam reading, seorang
penyusun atau perancang materi harus mampu menyatukan beberapa element
sehingga teori tentang menyiapkan atau
merancang sebuah materi bacaan dapat diwujudkan dalam materi pembelajaran.
Teori – teori tentang persiapan materi bacaan , diantaranya adalah sebagai
berikut
a. Teori
tentang kealamian pada bacaan itu sendiri ( nature of reading itself);
b. Teori
tentang pemilihan karakteristik bacaan atau anaisis text (textual analysis;
c. Spesifikasi
karakter dan kebutuhan pembaca (reader) atau siswa (leaner)
d.
(leaner);
b. Prinsip-prinsip pembelajaran
1) The material preparer’s role
Penekanan pada tujuan pengaturan menurut tujuan pelajar untuk belajar
bahasa kedua(asing)telah membangkitkan minat dalam keterampilan membaca.khusunya
dalam koneks bahasa asing yang mana itu yang penting.tapi tidak seperti
pendekatan statis sebelumnya ketika membaca bahasa asing biasanya dilakukan
melalui grammar-translation.dorongan komunikatif telah mendorong majunya
diskusi methological terhadap ke-2 kebutuhan pelajar.sifat tekstual dan
pengenalan psikologi dan mekanisme kognitif yang terkait dengan kompleks
keterampilan membaca.
-
The three
elements
Keterkaitan
dengan keterampilan dalam bahasa kedua berfungsi sebagai bahan persiapan
sebagai mediator teks dan pembaca-pelajar. proses mediasi membawa pembelajar
berhubungan dengan strategis untuk membaca sukses yang dimanfaatkan dengan
efisien.
Dengan
demikian tugas desain materi adalah untuk mensintesiskan tiga unsur yang
berbeda ke dalam hubungan yang kompatibel antara lain :
·
Strategi
membaca membaca atau rekonstruksi dari apa yang pembaca asli tidak
efisien-mungkin tanpa disadari
·
Analisis
tekstual atau pemeriksaan teks untuk organisasi
·
Karakteristik pelajar pembaca bahasa kedua.
- Tugas Perancang
Menekankan pada pengaturan objektif yang berdasarkan pada tujuan siswa
mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua ( second-language ) telah
membawa pembaharuan ketertarikan dalam pengembangan kemampuan membaca (interest
in the skill of reading), khususnya dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa
asing, dimana ini merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Penyaji
materi memiliki peranan dan pengaruh besar dalam metodologi pembelajaran atau
pengajaran bahasa Inggris.
2) Modal Reading Lesson
-
Strategies
for developing Reading skill
Menurut Robinson; 1961 : strategi untuk mengembangkan kemampuan membaca
adalah dengan meneliti, pertanyaan, membaca, mengulang, menceeritakan. Pada
bagian pertama bacaan, pembaca tidk boleh atau tidak dianjurkan untuk
menggunakan kamus akan tetapi pada bagian pertama bacaan itu menggunakan
strategi membaca ssskimming yaitu membaca hanya dengan sepintas tidak dengan
kata perkata karna itu membuat lama dlm suatu bacaan. Pembaca akan timbul
pertanyaan dalam dirinya mengenai maksud dan apa isi bacaan yang ada pada awal
bacaan.
-
Feature of
text
Features of The text memiliki kaitan erat dengan text analysis, yaitu
sebuah text yang didominasi dengan text berbentuk deskripsi atau percakapan.
Text analysis ini terdiri dari text yang menganalisis bagaimana sebuah kalimat
atau beberapa kalimat menjadi sebuah paragrap atau beberapa paragrap
digabungkan secara bersama agar menjadi sebuah gaungan paragrap yang berbentuk
text besar. yang kemudian oleh Halliday dan Hasan (1976) disebut sebagai
‘texture’. Bersamaan dengan textual properties, di dalam textual analisis juga
terdapat features secara structure, dan relasi yang kohesif. Contohnya, didalam
sistem membaca dalam bahasa Inggris terdapat beberapa elemen yang berhubungan
seperti referensi dan repetisi. Lalu, didalam sebuah text analysis terdapat
sebuah pengorganisasian properties text yang kemudian oleh Widdowson (1978 :45)
disebut sebagai ‘coherence feature’
-
Accomodating
learners intertest: working on huncehes
Pembuatan
keputusan tentang pemilihan bacaan bagi pelajar yang menarik. Menduga-duga
pekerjaan dalam memilih bacaan yang baik. Kita tentukan memilih bacaan dengan
judul “ a moral for any age” karena dua kualitas yang amat urgen pada sebuah
bacaan yaitu dilihat dar waktu yang tepat dan waktu yang tidak terbatas,
artinya dalam memilih sebuah bacaan itu harus disesuakan dengan pelajar dan
mengambil materi yang sesuai dengan masalah yang ada pada saat terkini.
c. Langkah-langkah atau prosedur pembelajarannya
Pendekatan yang menyiapkan materi terkait dengan strategi untuk membaca
efektif, sifat alami membaca teks, dan karakteristik pelajar memproduksi hasil
yang berbeda dari penjelaskan di sesi lalu.
1)
Latihan yang
Menghasilkan Interaksi dengan Teks
Latihan biasanya ditujukan kepada sintaksis, wacana, dan fitur leksikal
dalam teks dan interaksi pembaca dengan teks. Tujuan ini dicapai dengan
mengembangkan jenis latihan yang memfasilitasi interaksi terutama dengan
pemilihan bacaan di tangan. Konsekuensi dari pendekatan ini adalah bahwa jenis
olahraga tertentu hanya dapat muncul sekali dalam seluruh buku teks, sementara
yang lain mungkin lebih sering.
2) Menyediakan Berbagai Materi Baca
Sebuah silabus yang baik, tentu saja harus menyediakan buku untuk pelajar-pembaca
dengan berbagai bahan dan dengan berbagai strategi membaca. Suatu saat,
mengubah sikap telah dinyatakan dalam pernyataan ini: murid hanya perlu membaca
bahasa Inggris untuk dapat memahami tulisan teknis atau ilmiah, jadi kita hanya
akan mengajar mereka dalam cara mengatasi dengan satu jenis bahan.
2)
Memilih Teks
Sesuai dengan L2 Learner–Readers
Ada sejumlah alasan untuk memanfaatkan narasi dalam buku teks untuk tingkat
yang lebih rendah. Pertama, berbagi narasi universal yang sama fitur organisasi,
unsur kronologi, membuat mereka bentuk lebih mudah bagi pembaca
berpengalaman-pelajar. Kedua, narasi tampaknya merupakan jenis universal
menulis dalam semua masyarakat melek huruf, pelajar-pembaca datang dengan gaya
retoris narasi dengan built-in pengalaman. Selain itu, dalam jenis narasi, ada
banyak tingkat kompleksitas, mekanisme affording desainer yang dapat digunakan
untuk mengontrol dan struktur pilihan. Empat unsur dasar kompleksitas
ditentukan oleh:
-
Tingkat
redundansi dalam narasi
-
Tingkat informasi
yang diberikan atau ditahan dalam plot
-
Kompleksitas
karakter, dan
-
Kompleksitas
peristiwa
Dengan sekuensing narasi sesuai dengan rating mereka pada skala
kompleksitas, adalah mungkin untuk memberikan pelajar tingkat yang lebih rendah
dengan pengalaman dalam berurusan dengan informasi yang tercantum atau
tersirat, gagasan utama dan pendukung, fitur gaya yang digunakan untuk
cita-cita utama diuraikan, dll (Dubin dan Olshtain 1984 )
2) B. Siti Wachdiah “Pembelajaran Bahasa Berbasis
Genre”
a. Konsep dan Pengertian pembelajaran bahasa berbasis
genre
Pengembangan metode pembelajaran genre perlu dilakukan
bedasarkan kajian kepustakaan berkenaan tentang teori-teori yang relevan,
terutama tentang genre dan teori-teori belajar yang sesuai dengan karakteristik
genre. Bab ini terbagi dalam dua bagian utama. Bagian pertama membahas tentang
berbagai teori tentang genre dan implikasinya terhadap pendidikan bahasa
Inggris di Indonesia. Bagian kedua membahas berbagai teori tentang proses
belajar dan pembelajaran untuk mengembangkan metode pembelajaran genre yang
sesuai dengan kondisi nyata di sekolah.
1. Genre
dan Pendidikan Bahasa Inggris
Meskipun pendekatan
berbasis genre telah menjadi dasar untuk penyusunan Kurikulum 2004 dan juga
kemudian untuk penyusunan standar isi dan standar kompetensi lulusan sekolah
menengah dalam mata pelajaran Bahasa Inggris (Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No. 22 dan 23 tahun 2006), pemahaman terhadap konsep tersebut di
kalangan para pendidik dalam bidang Bahasa Inggris masih sangat beragam. Proses
pembelajaran di sekolah pada umumnya juga masih seperti biasa, dalam arti tidak
disesuaikan dengan tuntutan tersebut. Bagian ini membahas konsep genre dan
implikasinya terhadap pendidikan bahasa Inggris di sekolah menengah di
Indonesia.
· Genre
dan Rasional Penerapannya untuk Pembelajaran Bahasa Asing
Istilah ‘genre’ berasal dari bahasa Perancis, yang
sebenarnya dipinjam dari bahasa Latin (genus). Dalam kamus Concise
Collins Dictionary genre didefinisikan sebagai “kind, category, or sort,
esp. of literary or artistic work”. Istilah ini memang pada awalnya dikenal
untuk menentukan aliran di bidang seni dan sastra, dan kemudian berbagai
tulisan di media massa. Baru sekitar tahun 80an istilah ini mulai diadopsi di
bidang bahasa dan keaksaraan. Dalam bidang bahasa, perkembangan konsep genre
terjadi dalam tiga tradisi yang berbeda, yaitu di bidang Retorika Baru di
Amerika Utara, Bahasa Inggris untuk Tujuan Khusus (English for Specific
Purposes, ESP), dan Systemic Functional Grammar (SFL)
di Australia (Hyon, 1995; Hyland, 2002).
Dalam ketiga tradisi tersebut, genre lebih sering
dikaitkan dengan teks tertulis dan untuk pengembangan kemampuan retorik dan
keaksaraan (membaca dan menulis) (Freedman dan Medway, 1994; Martin, 1986,
1989, 1991; Swales, 1990; Hopkins dan Dudley-Evans, 1988). Namun dalam tradisi
SFL di Australia, konsep genre juga diterapkan untuk pendidikan bahasa Inggris
lisan dan tertulis, untuk pengembangan kemampuan literasi di pendidikan dasar
dan menengah, terutama bagi para imigran dan golongan masyarakat kurang
beruntung lainnya (lihat, a.l., Callaghan dan Rothery, 1988; Derewianka, 1990;
Burns, 1991; Hammond, dkk., 1992).
Dalam bidang pendidikan bahasa asing atau bahasa
kedua, penggunaan genre sebagai basis pembelajaran dapat dikaitkan dengan
asumsi bahwa kualitas dan derajat hidup manusia ditentukan oleh ‘amalnya’,
yaitu berbagai hal yang telah dilakukan dalam hidupnya. Untuk memenuhi
kebutuhan dan menyelesaikan kesulitan, manusia perlu bertindak dan melakukan
sesuatu. Bahkan untuk
sekedar dapat bertahan hidup, manusia tidak dapat hanya tinggal diam.
Pertama, fokus
perhatian pada pendekatan tradisional
adalah pada penguasaan unsur dan aturan dalam bahasa Inggris, sedangkan
penguasaan wacana adalah untuk pencapaian tujuan dan penyelesaian masalah di luar
bahasa Inggris itu sendiri. Kedua, karena bahasa
Inggris diperlakukan sebagai alat dalam berwacana, fokus perhatian bukan
hanya pada unsur dan aturan yang ada dalam bahasa Inggris, tetapi juga pada
unsur dan aturan yang berlaku di masyarakat yang dianggap paling tepat dan
efektif untuk mencapai tujuan. Ketiga, yang terkait dengan efektivitas
pencapaian tujuan, diperlukan pertimbangan lain di samping ketepatan pemilihan
kata dan aturan kebahasaan, yaitu faktor sosial budaya, strategi, dan sikap.
Relevansi genre dalam
pendidikan bahasa dikaitkan dengan potensinya untuk mengembangkan kemampuan
berwacana secara efektif. Keragaman kebutuhan dan tuntutan hidup yang dihadapi
manusia secara alami telah menghasilkan keragaman genre yang ada di masyarakat
saat ini.
Karena fungsinya
sebagai alat untuk melakukan suatu pekerjaan, genre dianggap sebagai suatu process,
action, activity (lihat, a.l. Martin, 1984, 1986, 1992), social
action (Miller, 1984), atau communicative event (Swales, 1990).
Bentuk tindakan yang akan dilakukan sengaja dipilih karena dianggap paling
tepat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, sebagaimana dinyatakan Christie
berikut ini.
Suatu tindakan atau
proses yang dilakukan untuk mencapai satu tujuan diwujudkan dalam bentuk
kongkrit berupa teks. Untuk satu tujuan yang sama biasanya tidak digunakan satu
teks yang persis sama selamanya, tetapi bervariasi dalam hal isi maupun bentuk
bahasa yang digunakan. Namun kemiripan antara teks-teks tersebut dapat dengan
mudah diidentifikasi, bahkan oleh orang awam yang tidak memiliki pengetahuan
tentang ilmu bahasa atau ilmu komunikasi. Beberapa teks yang memiliki kemiripan
dalam tindakan yang dilakukan itulah yang biasanya dikelompokkan dalam satu
genre yang sama. Bahwa teks berfungsi mencapai tujuan menjadi salah satu
prinsip dari SFL yang dipelopori oleh M. A. K. Halliday, yang mendefinisikan
teks bukan sekedar produk bahasa, tetapi produk bahasa yang mengemban suatu fungsi, “language
that is functional” (1985: 12).
Dengan asumsi bahwa
genre merupakan alat penting, atau bahkan mungkin paling utama, untuk dapat
meningkatkan harkat martabat manusia, pembelajaran bahasa di beberapa negara
bagian di Australia, yang dipelopori oleh New South Wales, menggunakan
pendekatan genre. Yang dicakup dalam kurikulum tentunya yang genre-genre yang
dihormati dan dianggap memiliki nilai tinggi di masyarakat setempat, yang
memungkinkan generasi muda dapat diterima dengan baik dan memiliki kesejajaran
dengan suku bangsa lain yang sudah lebih lama tinggal di negara tersebut. Hal
ini disebutkan salah satunya dalam pernyataan Gerot dan Wignell (1994:
190-191).
Menurut pengamatan
Feuer (1992: 145), genre bahkan dimanfaatkan oleh kaum Marxist sebagai alat
untuk melakukan kontrol sosial untuk memelihara kelangsungan ideologi mereka;
suatu pandangan yang mendukung asumsi Fairclough, sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, bahwa genre merupakan media untuk memperoleh atau mempertahankan kekuatan
dan kekuasaan seseorang atas orang lain.
Pengertian Genre
Untuk tujuan tersebut,
definisi genre yang diberikan Johns (2004) perlu dirujuk untuk mengawali bagian
ini, di mana dia menyatakan bahwa genre adalah sesuatu yang abstrak, yang
merupakan gambaran mental tentang suatu jenis atau tipe teks. Sebagaimana
dibahas sebelumnya, genre bukan teks, tetapi sesuatu yang dapat digunakan untuk
mengkategorikan teks ke dalam jenis atau tipe yang berbeda-beda.
Seperti ada suatu
kesepakatan di antara para penulis dan peneliti dalam penetapan status suatu
genre, yaitu dengan menggunakan sedikitnya tiga kriteria: (1) tujuan sosial
yang hendak dicapai, (2) struktur retorika, skematik, atau generik, dan (3)
bentuk kebahasaan yang digunakan. Menurut Martin dan Rothery (1986: 243), genre
adalah “the staged purposeful social processes through which a culture is
realized in a language.” Definisi tersebut selaras dengan hasil pengamatan
John M. Swales terhadap berbagai pembahasan tentang genre di bidang kebahasaan
dan keaksaraan. Dia katakan bahwa genre merupakan kejadian komunikatif (communicative
events) yang dilakukan untuk mencapai satu tujuan. Selanjutnya, tujuan
tersebut menjadi dasar untuk menentukan isi atau makna yang akan diutarakan,
penempatan makna dalam teks, dan bentuk kebahasaan yang digunakan untuk
mengutarakan makna tersebut (190: 52-53). Swales memberikan contoh penggunaan
surat good news (untuk menyampaikan pesan yang diharapkan akan
menyenangkan si penerima) dan surat bad news (untuk menyampaikan pesan
sebaliknya).
Keterkaitan antara
ketiga unsur yang membentuk genre dapat dilihat sebagai hubungan sebab akibat. Karena adanya suatu kebutuhan, orang perlu bertindak
dengan cara berwacana. Jadi, tujuan berwacana ditentukan oleh kebutuhan yang
dihadapi penutur. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan teks untuk
mengungkapkan makna yang diperlukan. Adalah bagian dari sifat manusia,
pengungkapan makna tidak dapat dilakukan dengan cara lain kecuali secara
linear, makna demi makna. Berdasarkan pertimbangan efektivitas dan efisiensi
dalam pencapaian tujuan, penutur menentukan urutan penyampaiannya, serta
kosakata dan tatabahasa yang dianggap paling tepat.
Dalam buku “Making
Sense of Functional Grammar”, yang tujuannya adalah memberikan pemaparan
praktis tentang SFL bagi guru bahasa asing atau bahasa kedua, Gerot dan Wignell
(1994) memberikan paparan secara rinci 13 genre, yaitu Uraian Kejadian (Recount),
Spoof (atas
dasar pertimbangan makna, istilah tersebut serta beberapa istilah asing lainnya
tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), Laporan
Pengamatan (Report), Eksposisi Analitis, Berita, Anekdot, Naratif,
Prosedur, Deskripsi, Eksposisi Hortatory, Penjelasan, Diskusi atau Pembahasan,
dan Ulasan (Review). Setiap genre disampaikan secara skematik dalam tiga
bagian yang diberi judul (1) Social Function, (2) Generic (Schematic)
Structure, dan (3) Significant Lexicogrammatical Features. Di bawah
judul Social Function disebutkan tujuan yang hendak dicapai, di bawah
judul Generic Structure disebutkan daftar langkah atau tahapan secara
berurutan, dan di bawah judul Significant Lexicogrammatical Features
disebutkan daftar kosakata dan tatabahasa yang menjadi penciri genre yang
bersangkutan. Pemaparan ciri-ciri
tatabahasa tampak jelas menggunakan Functional Grammar Halliday (1985,
1994). Pemaparan setiap genre dilengkapi dengan sebuah contoh teks yang utuh,
namun telah dipenggal-penggal ke dalam beberapa bagian, yang masing-masing
merepresentasikan langkah atau tahapan. Oleh karena itu setiap tahapan
diberikan judul yang sesuai.
Kekhawatiran Gerot dan
Wignell (1994) bahwa guru akan memperlakukan pemaparan genre di atas sebagai
rumus yang harus ditaati tesirat dalam paragraf yang mengingatkan guru bahwa
genre bukan sesuatu yang kaku dan tetap, tetapi bervariasi sesuai konteks
penggunaannya. Bahkan disebutkan dalam pernyataan berikut bahwa kreativitas
individu dalam menerapkan suatu genre perlu dilatihkan.
Kelenturan genre dalam
mengakomodasi tuntutan sosial dan prakarsa individu menjadi pokok bahasan dalam
seksi berikut.
Genre sebagai Suatu
Tindakan Sosial
Berbagai tulisan yang
dirujuk dalam membahas konsep genre di atas jelas menunjukkan bahwa genre
adalah satu bentuk tindakan sosial, sehingga sangat dipengaruhi oleh konteks
sosiokultural yang dihadapi. Oleh karena itu, genre bersifat fleksibel dalam
mengakomodasi tuntutan masyarakat penggunanya (discourse community),
termasuk keinginan dari dalam diri individu yang menggunakannya. Karena pertimbangan sosial tersebut, genre cenderung
bervariasi dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, orang ke orang. Swales
mengatakan “exemplars or instances of genres vary in their prototypicality”
(1990: 49). Fairclough (1995: 89) dan Freedman dan Medway (1994: 87) bahkan
sering menemukan suatu teks yang menerapkan beberapa genre atau ciri-ciri dari
beberapa genre sekaligus. Selain itu, Fowler (1989) juga jarang menemukan teks
yang tergolong dalam satu genre memiliki secara lengkap semua unsur dan aturan
yang dianggap sebagai ciri dari genre tersebut (hal. 215). Meale (1981: 52)
bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa genre bukanlah ‘sistem’, tetapi proses
membangun suatu sistem (systematization).
Sebagai satu tindakan
sosial, genre tidak dapat dilihat sebagai bentuk atau aturan yang khas dari
suatu jenis, tipe atau kategori teks, yang memiliki rumus yang pasti, sehingga
dapat disamakan dengan cetakan yang siap digunakan untuk mereproduksi teks-teks
yang sebangun. Karena pemilihan genre terkait dengan usaha untuk mencapai
tujuan berwacana secara efektif, genre akan selalu berubah sesuai dengan
konteks wacana yang ada. Pare dan Smart (1994) menganggap genre sebagai “a
complex pattern of repeated social activity and rhetorical performance arising
in response to recurrent situation” (hal. 146). Gerot dan Wignell (1994:
191) juga secara tegas menyatakan bahwa paparan genre yang ada dalam bukunya
menggambarkan suatu kecenderungan atau probabilitas, bukan suatu kepastian.
Menurut Halliday (1985: 12-14), pemilihan bentuk atau
struktur teks oleh penutur untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu kegiatan
sosial komunikatif ditentukan oleh konteks situasi yang dihadapi, atau register.
Register merupakan kesatuan dari tiga unsur yang tidak dapat terpisahkan dan
saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu field, tenor, dan mode.
Field mengacu pada apa yang sedang terjadi atau mengenai hal-hal yang
sedang dibicarakan. Tenor mengacu pada siapa yang terlibat dalam
pembicaraan tersebut, sifat dan peran masing-masing, serta sifat hubungan
antara satu dengan lainnya. Mode mengacu pada media atau tatanan simbol
yang digunakan, statusnya, serta fungsinya dalam konteks pembicaraan. Termasuk
dalam unsur mode antara lain saluran yang digunakan (tertulis, lisan,
atau kombinasi keduanya), struktur retorikanya, atau tujuan sosialnya
(persuasive, ekspositori, deduktif, dsb.).
Celce-Murcia, Dornyei, dan Thurrell (2001) membahas
kompleksitas bahasa sebagai suatu alat untuk melakukan tindakan sosial dari
sudut pandang lain. Menurut mereka, kemampuan menentukan bahasa yang tepat
untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan komunikatif yang sebenarnya di
masyarakat (berwacana) diperlukan lima kompetensi dasar yang merupakan satu
kesatuan yang utuh yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Kelima unsur
tersebut adalah (1) kompetensi wacana, (2) kompetensi kebahasaan, (3)
kompetensi tindak bahasa, (4) kompetensi sosiokultural, dan (5) kompetensi
strategik. Kelima kompetensi dasar tersebut menjadi syarat untuk dapat
menghasilkan suatu teks yang memiliki bentuk dan susunan yang oleh lingkungan
sosialnya dianggap tepat dan efektif untuk mencapai suatu tujuan sosial yang
hendak dicapai oleh penuturnya.
Kompetensi wacana mengacu pada kemampuan memilih, menata,
dan mengurutkan makna (yang terungkap dalam bentuk kata, kalimat, pargraf)
serta konstruksi lainnya. Kompetensi kebahasaan mengacu pada kemampuan memilih
unsur-unsur kebahasaan yang selama ini menjadi fokus pembelajaran bahasa asing
(yaitu tata bahasa, kosakata, lafal, intonasi, ejaan, dan tanda baca) yang
dianggap tepat. Kompetensi tindak bahasa mengacu pada kemampuan mengungkapkan
dan memahami tindakan komunikatif yang sedang dilakukan. Kompetensi
sosiokultural mengacu pada kemampuan memahami dan menerapkan aturan-aturan dan
tatacara yang dianggap tepat dan patut menurut konteks budaya yang
bersangkutan. Kompetensi strategik mengacu pada kemampuan memahami dan
menerapkan strategi komunikatif yang tepat untuk mencapai tujuan komunikatif
secara efektif dan efisien.
Di samping
faktor-faktor sosial tersebut, variasi genre tidak dapat terlepas dari
pengetahuan dasar yang dimiliki oleh para penuturnya. Pengetahuan ini disebut
sebagai skemata, yang menurut Carell (1983) terdiri atas dua jenis, yaitu “content
schemata,” yang mengacu pada pengetahuan umum tentang dunia, dan “formal
schemata,” yang mengacu pada genre yang menjadi dasar pembentukan teks.
Biasa dikatakan dalam budaya Indonesia, bahwa cipta, rasa, dan karsa individu
akan selalu mempengaruhi apapun yang dilakukan ataupun dihasilkan dalam
hidupnya.
b.
Prinsip-Prinsip
Pembelajaran Berbasis Genre
Pembahasan tentang keterkaitan antara genre dengan penguasaan wacana sejauh
ini telah memberikan masukan yang cukup banyak tentang unsur-unsur yang
seharusnya tercakup dalam pembelajaran bahasa untuk berwacana, serta pentingnya
memperlakukan unsur-unsur tersebut sebagai suatu alat bagi manusia untuk
memainkan perannya sebagai individu yang mandiri dan sekaligus sebagai makhluk
sosial yang tidak bisa terlepas dari tatanan dan kelaziman yang berlaku di
masyarakatnya. Dari pembahasan tersebut diperoleh banyak informasi tentang
muatan yang perlu dicakup, yakni unsur pembentuk dan sifat genre. Tiga unsur
tersebut adalah tujuan sosial, struktur makna, dan ciri-ciri kebahasaan. Ketiga
unsur tersebut memiliki kestabilan dalam bentuk dan makna yang dikandungnya, namun
dalam penerapannya memiliki kelenturan, untuk mengakomodasi cita, rasa, prakasa
penggunanya serta keragaman konteks wacana yang dihadapi.
Ada beberapa implikasi yang dapat ditarik dari pemahaman tersebut untuk
diterapkan dalam perancangan model pembelajaran yang sesuai. Pertama, genre
merupakan representasi dari satu unit makna yang utuh, yang terwujud dalam
sebuah teks yang dianggap lengkap dan memadai untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan pemahaman ini, pembelajaran genre mensyaratkan penggunaan teks sebagai
dasar pembelajaran, karena merepresentasikan makna secara utuh dan menyeluruh (whole
language), di mana tiap aspek yang ada di dalamnya saling mempengaruhi satu
sama lain, dan saling terkait membentuk satu unit yang utuh dan kokoh. Dengan
teks sebagai satuan makna dasar, kegiatan pembelajaran dapat diperluas dengan
menggunakan teks-teks lain, atau mengarah ke dalam untuk mempelajari
satuan-satuan makna yang lebih kecil yang telah membangunnya menjadi teks utuh.
Kedua, penguasaan genre dapat dicapai melalui prinsip yang sederhana, yaitu
learning by doing. Genre adalah satu bentuk tindakan sosial untuk
mencapai suatu tujuan, sehingga penguasaan terhadap suatu genre berarti
kemampuan mencapai suatu tujuan dengan menggunakan genre yang sesuai sebagai
alat utamanya. Oleh karena itu, untuk menguasai suatu genre, otentisitas
tujuan, kegiatan, materi, dan konteks situasi berwacana dalam genre tersebut
merupakan salah satu prinsip yang tidak dapat diabaikan. Dengan kata lain,
siswa perlu diberikan tantangan dan kesempatan untuk memperoleh pajanan dan
terlibat aktif dalam berwacana secara otentik dalam genre tersebut.
Ketiga, untuk memberikan pemahaman pada siswa bahwa genre memiliki
kelenturan untuk bervariasi menyesuaikan dirinya dengan schemata penggunanya
serta konteks yang dihadapi, pembelajaran genre tidak dapat menggunakan
mengikuti cara tradisional, yang diawali dengan pemaparan rumus-rumus yang
telah dihasilkan orang lain sebelumnya secara eksplisit oleh guru dan kemudian
diikuti dengan latihan pembiasaan oleh siswa. Cara ini akan memberikan
pemahaman bahwa genre bersifat tetap dan tidak kontekstual. Untuk dapat
menangkap sisi kemapanan suatu genre yang sedang dipelajari dan pada saat yang
sama juga menangkap variasi yang dimungkinan oleh masyarakat penggunanya, siswa
perlu dihadapkan langsung pada berbagai teks yang benar-benar digunakan dalam
kehidupan nyata.
Keempat, karena genre merupakan alat untuk mencapai tujuan dan penguasaan
genre berarti penguasaan menggunakan alat tersebut, siswa perlu memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang ketiga unsur genre—tujuan sosial,
struktur skematik, ciri-ciri kebahasaan yang digunakan. Namun perlu ditekankan
bahwa penguasaan yang baik tidak berarti kemampuan memahami atau
mendeskripsikan ketiga unsur tersebut secara eksplisit. Banyak penutur asli
mampu menceritakan kembali cerita yang mereka baca dalam novel secara runtut,
rinci dan dengan bahasa yang baik, namun belum tentu mampu menggambarkan
struktur retorika novel tersebut secara eksplisit.
Kelima, bukan hanya tidak semua orang tidak mampu mendapatkan pemahaman
eksplisit tentang genre, tetapi banyak juga yang memang tidak memerlukannya.
Misalnya, kebanyakan pembaca koran atau pemirsa TV mampu memahami berbagai
berita yang dimuat dan ditayangkan, padahal mereka tidak memiliki pemahaman
eksplisit tentang genre yang diterapkan. Mereka tidak perlu memiliki pemahaman
eksplisit tentang genre berita untuk dapat memahami berita. Namun, sebaliknya,
tanpa memiliki pemahaman eksplisit tentang genre, penulis berita tidak mungkin
mampu menghasilkan teks-teks berita yang layak dimuat atau ditayangkan.
Pemahaman eksplisit juga diperlukan untuk tujuan penelitian, antara lain
melakukan analisis teks, membandingkan tingkat efektivitas satu teks dengan
lainnya, analisis kontrastif teks dalam dua bahasa yang berbeda. Dengan kata
lain, pemahaman eksplisit tentang genre ditentukan oleh tingkat literasi yang
perlu dicapai siswa.
Keenam, silabus dan kurikulum bahasa biasanya mengelompokkan kompetensi
sasaran sesuai dengan klasifikasi keterampilan berbahasa yang digunakan selama
ini, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Cara pengelompokan
seperti ini dipahami oleh banyak guru sebagai keharusan bahwa setiap pokok
bahasan, perlu dilakukan dalam keempat keterampilan tersebut. Begitu juga
halnya dengan pembelajaran genre yang dilakukan guru atau dimuat dalam buku
teks. Misalnya, pembelajaran cerita yang menggunakan materi sebuah cerita,
biasanya mencakup tugas-tugas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, dan
menulis teks yang serupa. Padahal pada kehidupan nyata, penguasaan suatu genre
tidak harus pada setiap keterampilan tersebut, tetapi disesuaikan dengan
kebutuhan dan tingkat penguasan literasinya. Kebanyakan pencinta novel,
misalnya, hanya mampu membaca dan membahas isinya, tetapi tidak mampu dan tidak
ingin menghasilkan novel sendiri. Begitu juga banyak orang yang hanya perlu
memahami komentator olahraga, dan tidak pernah bermimpi atau ingin dapat
melakukannya. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa dalam program pembelajaran
suatu genre, penentuan jenis kegiatan yang perlu dicakup lebih baik didasarkan
pada relevansinya dengan kebutuhan dan tingkat penguasaan bahasa sasaran oleh
siswa.
·
Pembelajaran Bahasa Berbasis Genre
Dalam merencanakan
pembelajaran bahasa, ada dua kata kunci yang perlu mendapatkan perhatian yang
seimbang, yaitu kata ‘bahasa’ dan ‘belajar’. Kata
‘bahasa’ mengacu pada isi atau muatan utama yang diajarkan, sedangkan kata
‘belajar’ mengacu pada proses untuk menguasai muatan tersebut. Pembahasan
tentang keterkaitan antara genre dengan penguasaan wacana sejauh ini telah
memberikan beberapa masukan untuk melaksanakan pembelajaran genre. Pemahaman
tersebut sangat berguna untuk merumuskan kompetensi yang hendak dicapai dalam
pembelajaran genre, serta prinsip-prinsip pembelajarannya.
Berdasarkan batasan
tentang genre ini, kompetensi komunikatif yang menjadi tujuan pembelajaran
perlu dirumuskan dalam bentuk-bentuk kegiatan berwacana yang lazim dilakukan
dalam wacana di kehidupan nyata di mana siswa menjadi bagiannya. Sedangkan
indikator keberhasilan melaksanakan setiap kegiatan berwacana dilihat dari
ketiga unsur dalam genre, yakni (1) keberhasilan memainkan fungsi atau mencapai
tujuan sosialnya, (2) pemilihan dan penataan makna yang digunakan, dan (3)
pemilihan dan penataan unsur kebahasaan yang digunakan untuk mengutarakan
setiap unsur makna.
Namun pengetahuan yang
jelas tentang produk yang ingin dicapai serta prinsip-prinsip pencapaiannya
tidak serta merta diikuti oleh pengetahuan tentang proses pembelajaran yang
sesuai. Hal inilah yang seolah-olah terlupakan oleh para perancang model
pembelajaran berbasis genre di Australia yang disebut ‘Teaching/Learning
Cycle’ (selanjutnya, TLC). Model pembelajaran yang didasarkan pada teori
genre dalam tradisi SFL tersebut sudah secara luas dan cukup lama diterapkan
sebagai dasar untuk pengembangan kurikulum untuk pendidikan literasi di
sekolah-sekolah Australia bagi para siswa yang bukan berlatar belakang bahasa
Inggris, terutama di negara bagian New South Wales dan Queensland, namun tidak
pernah ada kejelasan tentang teori belajar yang digunakan sebagai dasar untuk
perancangan langkah-langkahnya.
Model pembelajaran
tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan, dari model pembelajaran
Callaghan dan Rothery (1988), yang terdiri atas tiga tahapan yaitu Modeling
of Text, Joint Construction of Text, dan Independent Construction
of Text. Kemudian oleh Burns dan Joyce (1991) ditambahkan satu tahap lagi
yaitu Building Knowledge of the Field, untuk memberikan pengetahuan
dasar tentang konteks, tata bahasa dan kosa kata yang diperlukan untuk
menerapkan suatu genre. Model pembelajaran yang terakhir, yang terdiri atas
lima tahap yang dikembangkan oleh Jackson (1995), menambahkan unsur Linking
Related Texts, untuk dapat memungkinkan pembelajaran dialog lisan. Model
pembelajaran tersebut kemudian diterapkan oleh Feez (1998) untuk mengembangkan
silabus berbasis text. Namun demikian, model-model pembelajaran tersebut tetap
tidak pernah bergeser dari dasar utamanya, yakni hanya pada teori bahasa dan
literasi dari SFL, yang dipelopori oleh Halliday. Penentuan tahap-tahap
pembelajaran tersebut di atas tidak didasarkan pada pembahasan yang mendalam
tentang teori belajar. Hal ini terlihat pada pernyataan Hammond dkk. (1992)
berikut ini. This part presents an approach to Curriculum Design and Program
Planning which is informed by a systemic-functional model of language and
litracy. Decisions about the Curriculum Design are based on:
·
Theoretical understanding of language
and litracy
·
Initial and ongoing assessment of
learner
·
Analysis of learners’ needs and goals
·
Analysis of demands of language content.
Program Planning draws
on the above and involves making decisions about program aims, appropriate
content and teaching methodology. (Hammod, dkk., 1992: 15)
Begitu juga halnya dengan Feeze yang membahas metode penerapan silabus
berbasis text. Meskipun dia menyebutkan konsep visible pedagogy dan invisible
pedagogy yang dibahas oleh Berstein, konsep zone of proximal development
dari Vygotsky dan scaffolding dari Bruner, namun isi pembahasan berhenti
pada identifikasi rambu-rambu yang bersifat umum, dan tidak menjelaskan
prosesnya sampai pada penentuan kelima tahapan pembelajaran dalam model
pembelajaran TLC yang digunakannya. Menurut pernyataan Feeze (1998: 24-27),
metodologi yang tepat untuk menerapkan silabus berbasis text adalah berbasis
genre, dan pembelajaran berbasis genre perlu didasarkan pada tiga asumsi, yaitu
(1) belajar bahasa adalah suatu kegiatan sosial, (2) proses belajar akan
berjalan secara efektif jika hal-hal yang perlu dikuasai disebutkan secara
eksplisit, dan (3) proses belajar bahasa memerlukan langkah-langkah yang
terbimbing untuk mengembangkan penguasaan berbagai aspek bahasa.
Selain model pembelajaran TLC, memang belum ada lagi model pembelajaran
bahasa berbasis genre yang telah dipublikasikan secara luas. Sementara itu,
penentuan tahapan-tahapan yang ada dalam model pembelajaran ini pun tidak
melalui pembahasan teori belajar secara memadai. Oleh karena itu, untuk
menerapkan pembelajaran berbasis genre untuk pembelajaran Bahasa Inggris di
Indonesia, perlu dirancang satu model pembelajaran berdasarkan teori-teori
belajar secara memadai.
·
Model
pembelajaran “Pengamatan dan Peniruan Model” (PPM) untuk Penerapan
Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Inggris Berbasis Genre Di SMP dan SMA
Dalam konteks bahasa ibu atau bahasa pertama, di
mana kesempatan dan tantangan untuk berwacana tidak ada batasnya, penguasaan
genre seolah-olah adalah masalah waktu; yaitu, lambat laun penutur asli dapat
menguasai berbagai genre dalam bahasanya dengan baik. Dapat dikatakan bahwa
semakin lama orang terlibat dalam penggunaan suatu genre, semakin baik
penguasaannya terhadap genre tersebut. Namun, dalam konteks pembelajaran bahasa
asing atau bahasa kedua, di mana kesempatan dan tantangan untuk berwacana
secara kulaitas dan kuantitas jauh lebih rendah, langkah-langkah pembelajaran
perlu ditentukan secara cermat agar dalam segala keterbatasan yang ada,
kompetensi sasaran dapat dicapai. Oleh karena itu, untuk pembelajaran genre di
sekolah, perlu dirancang model pembelajaran yang terdiri atas langkah-langkah
yang ditentukan berdasarkan teori-teori belajar yang sesuai dengan hakikat
genre sebagai alat untuk melaksanakan suatu fungsi sosial. Satu hal lagi yang
tidak boleh diabaikan adalah bahwa proses belajar harus berjalan secara alami
sesuai dengan sifat dasar manusia yang melaksanakannya.
Pembahasan pada bagian
2.1.4 telah mengidentifikasi enam prinsip pembelajaran genre yang ditarik dari
sifat-sifat yang melekat pada genre sebagai suatu proses sosial yang
dipergunakan sebagai alat oleh individu untuk untuk mencapai tujuan yang ingin
dicapainya. Salah satu teori belajar yang dianggap dapat mengakomodasi
prinsip-prinsip tersebut adalah Social Learning Theory (selanjutnya
tetap akan digunakan istilah dalam bahasa Inggris tersebut atau disingkat
menjadi SLT) yang dikembangkan oleh seorang pakar psikologi perkembangan dari
Kanada bernama Albert Bandura (Bandura, 1977). Berdasarkan teori tersebut,
melalui penelitian ini dikembangkan model pembelajaran bahasa Inggris berbasis
genre yang kemudian dimeri nama model pembelajaran “Pengamatan dan Peniruan
Model” (selanjutnya disingkat PPM), untuk menonjolkan dua langkah utama yang
membentuk proses pembelajaran yang diusulkan tersebut. Untuk tujuan penelitian
ini, SLT menyediakan kerangka dan struktur dasar model pembelajaran PPM. Untuk
pengembangan tiap langkah dalam model tersebut akan dirujuk teori perkembangan
Vygotsky, dan beberapa teori lain yang menekankan proses sosial, termasuk
pemodelan, dalam perkembangan kecerdasan intelektual manusia.
1. Social
Learning Theory (SLT)
Teori belajar tersebut menekankan pentingnya pengalaman
langsung dalam berbagai kegiatan sosial di dunia nyata untuk dapat menguasai berbagai
pengetahuan dan keterampilan yang mendasari tingkah laku dan sikap manusia
dalam hidupnya. Melalui pengalaman langsung itulah manusia melakukan dua
kegiatan kunci dalam proses belajar, yaitu mengamati cara orang lain di
sekitarnya bertingkah laku, bersikap, dan menunjukkan reaksi emosional terhadap
kejadian di sekitarnya dan kemudian menirukannya untuk mengarahkan tindakannya.
Bagi Bandura, proses belajar melalui pengamatan tersebut jauh lebih mudah dan
lebih aman dibandingkan dengan jika harus memulai semuanya dari diri sendiri,
sebagaimana dalam pernyataannya berikut ini.
Learning would be
exceedingly laborious, not to mention hazardous, if people had to rely solely
on the effects of their own actions to inform them what to do. Fortunately,
most human behavior is learned observationally through modeling: from observing
others one forms an idea of how new behaviors are performed, and on later
occasions this coded information serves as a guide for action. (Bandura, 1977:
22)
Secara garis besar
disebutkan dalam pernyataan tersebut bahwa cara belajar dengan menirukan model
(modeling) terdiri langkah-langkah mengamati model, menyimpan ciri-ciri
model tersebut dalam ingatannya, dan kemudian menggunakan pengetahuan yang
dipahaminya untuk melakukan atau menghasilkan tingkah laku yang serupa dengan
modelnya.
Menurut Bandura,
tingkah laku manusia merupakan hasil dari keterkaitan timbal balik antara unsur
kognitif, tingkah laku, dan pengaruh lingkungan. Asumsi ini kemudian
mengarahkan pada formula bahwa untuk dapat memahami dan mengikuti model yang
diinginkan diperlukan empat tahapan, yaitu attention, retention, reproduction,
dan motivasion. Langkah pertama, attention, adalah langkah di
mana individu tertarik perhatiannya pada ciri-ciri khas dan menonjol dari benda
yang akan ditiru. Perhatian merupakan syarat awal untuk terjadinya proses
peniruan. Kualitas perhatian tergantung pada obyek yang diamati maupun pada
tingkat gangguan yang dapat mengacaukan perhatian (misalnya, ngantuk, sakit,
terlalu bising). Kondisi obyektif
benda atau tingkah laku yang diamati menjadi faktor penentu. Pada umumnya orang
akan tertarik menggunakan suatu benda atau melakukan suatu kegiatan karena
menurutnya benda atau kegiatan tersebut memiliki sifat-sifat positif serta
membawa dampak positif terhadap kehidupannya, antara lain, menarik, dramatis,
bergengsi, dapat merubah nasib, dsb.
Unsur retention mengacu pada
proses yang mengarah pada kemampuan merepresentasikan atau merubah model
tingkah laku atau sikap ke dalam simbol-simbol, rumus, struktur, dan aturan,
sehingga dapat tersimpan dalam sistem memori, dan sewaktu-waktu dapat diingat
kembali untuk menghasilkan tingkah laku yang serupa dengan model. Proses
tersebut dapat juga dikatakan sebagai proses penarikan abstraksi unsur-unsur
dan aturan-aturan dari suatu bentuk tingkah laku atau sikap yang diamati.
Simbol-simbol yang tersimpan dalam ingatan ini kemudian dapat digunakan
sewaktu-waktu untuk melakukan reproduction. Dalam tahap ini, individu
berusaha mewujudkan apa yang selama ini hanya diamati dalam bentuk tindakan.
Semakin sering dia melakukannya, semakin mirip tindakan tersebut dengan
modelnya. Namun, kemampuan individu untuk dapat menirukan suatu tingkah laku atau
benda sangat bervariasi. Ada yang bisa sama dengan modelnya, ada yang bahkan
lebih unggul dari modelnya, ada yang mendekati, tetapi ada juga yang sama
sekali tidak dapat melakukannya.
Unsur motivation mengacu pada
hal-hal yang membuat individu menjadi mau atau tidak mau, ingin atau tidak
ingin, menirukan suatu model tingkah laku atau sikap. Hal ini dipengaruhi oleh
proses reinforcement atau punishment, yang dialami sendiri di
masa lalu, yang dijanjikan, atau yang secara tidak langsung dirasakan melalui pengalaman
orang lain. Individu akan memiliki motivasi untuk meniru suatu moel jika memang
ada alasan logis untuk melakukannya. Menurut teori behaviorisme Bandura,
motivasi ditentukan oleh sifat penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment)
yang terkait dengan tindakan tersebut. Penguatan maupun hukuman terdiri dari
tiga jenis yang sama yaitu yang telah dialami sendiri (past), dijanjikan
(promised) yang dapat berupa insentif atau ancaman, dan karena melihat
yang dialami atau menimpa modelnya (vicarious).
Keempat tahapan tersebut—attention,
retention, reproduction, motivation—hanya dapat
berlangsung jika ada usaha atau kendali dari diri sendiri (self-regulation),
bukan karena orang lain. Bagi Bandura, tanpa adanya kemandirian tidak akan
terjadi proses belajar. Terkait dengan proses pengamatan, kemandirian bertindak
ditentukan oleh tiga langkah tindakan, yaitu melalui observasi diri (self-observation),
pertimbangan (judgement) tentang dirinya terkait dengan model yang
diamati, dan kemudian merespon diri (self-response). Seorang yang
mandiri dapat memahami dirinya sendiri, mengetahui sejauh dia mampu melakukan
suatu model, dan juga dapat mengenali kelemahan serta kekurangannya (self-concept).
2.
Proses Sosial Penguasaan Bahasa
Perbedaan yang menonjol
antara SLT dengan model konvensional yang selama ini mendominasi budaya
pembelajaran di sekolah, termasuk mata pelajaran Bahasa Inggris, terletak
terutama pada urutan dua unsur pertama, yaitu attention dan retention.
Menurut SLT, penguasan suatu unsur dan aturan dalam bentuk simbol-simbol (retention)
justru terjadi karena siswa telah terbiasa menggunakan bahasa tersebut untuk
melakukan berbagai kegiatan dalam hidupnya sehingga timbul perhatiannya
terhadap unsur dan aturan tersebut (attention). Dalam model pembelajaran
konvensional, atau biasa dinyatakan dalam formula 3P (presentation-practice-production),
proses pembelajaran dimulai dengan guru memaparkan atau menjelaskan unsur dan
aturan (presentation), kemudian siswa berlatih menerapkan aturan
tersebut dalam latihan-latihan terstruktur (practice), dan baru setelah
itu siswa dianggap mampu untuk menerapkan pengetahuannya tersebut dalam lingkup
yang lebih luas di luar kelas (production).
Guru yang sudah sangat
dipengaruhi oleh budaya 3P kemungkinan akan sulit memahami model SLT, di mana
siswa dituntut melakukan berbagai
kegiatan nyata dalam bahasa Inggris sebelum dijelaskan aturannya. Tentunya
kegiatan yang menggunakan bahasa Inggris secara utuh (whole language)
mencakup penggunaan berbagai aturan kebahasaan secara bersamaan. Hal ini sering
menjadi kendala bagi guru untuk memberikan teks secara utuh, karena setiap teks
mengandung jauh lebih banyak aturan daripada yang dia sudah sempat ajarkan.
Pertanyaan yang akan muncul biasanya adalah “Mana mungkin mereka bisa melakukannya?
Kan belum dijelaskan?” Bagi mereka siswa hanya akan
menguasai bahasa Inggris jika ada guru yang mampu menjelaskan.
Mereka seolah-olah lupa bahwa banyak orang yang mampu menguasai bahasa
Inggris atau keterampilan lain bukan karena diajar, tetapi karena dihadapkan
pada keharusan berbahasa Inggris untuk maksud dan tujuan yang nyata. Banyak
orang menguasai lebih dari satu bahasa asing tanpa pernah mengikuti pendidikan
formal atau pun kursus. Anak-anak putus sekolah yang menjajakan kerajinan di
tempat-tempat wisata, seperti Bali, Borobudur, dan tempat-tempat wisata lain di
Indonesia cukup fasik menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa Inggris untuk
berjualan. Sekarang juga semakin banyak siswa SMP dan SMA yang penguasaan
bahasa Inggris melebihi gurunya, bukan karena kursus, tetapi karena sering
akses internet, mengikuti siaran-siaran TV dan radio yang menggunakan campuran
antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, yang semakin banyak jumlahnya di
kota-kota besar.
Mereka seolah-olah juga lupa bahwa proses pembelajaran bahasa Inggris yang
sarat dengan penjelasan yang diberikan guru dan buku teks selama ini ternyata
juga telah membuat sebagian besar lulusan SLTA tidak mampu berbahasa Inggris
dengan baik di dunia nyata, bahkan untuk melakukan hal-hal yang sederhana
sekali pun. Dan ternyata sebagian besar juga tidak mampu mencapai tingkat
kelulusan 50% dalam ujian nasional, padahal selama setahun terakhir, di Kelas
3, segala usaha dan perhatian guru dan sekolah dicurahkan untuk
mempersiapkannya. Yang lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit siswa sekolah
menengah yang sebenarnya sangat ingin menguasai bahasa Inggris, tetapi menjadi
tidak termotivasi karena mereka menganggap proses pembelajaran tidak langsung
menuntut mereka untuk berbahasa Inggris seperti yang mereka inginkan.
Dilihat dari tingkat kompleksitas teks dan kegunaannya, apabila untuk dapat
dikuasai siswa setiap aturan harus diajarkan dan dilatihkan satu per satu,
betapa akan sangat panjang waktu yang diperlukan, dan sangat berat beban guru.
Apalagi jika yang dihadapi adalah kelas besar yang heterogen. Bagaimana mungkin
guru akan melayani semuanya? Tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit lulusan
SMA yang mampu berbahasa Inggris dengan baik, dan bahkan lebih baik dari
gurunya, padahal banyak di antaranya berasal dari sekolah yang memiliki
keterbatasan fasilitas, kelas besar dan heterogen, guru yang tidak mampu
berbahasa Inggris dengan baik, dan beban belajar yang tidak sedikit. Banyak
juiga di antara mereka yang harus membantu orang sepulang sekolah sehingga
tidak ada waktu belajar, namun memiliki penguasaan bahasa Inggris yang cukup
baik.
Kenyataan yang mendukung teori SLT tersebut dapat dijelaskan dengan teori
Vygotsky yang menyatakan juga bahwa intelektual manusia berkembang karena
berusaha menirukan (imitating) tingkah laku orang lain, bukan karena
diberi penjelasan. Dengan kemampuan menirukan tersebut, individu dapat
menguasai berbagai tingkah laku dan keterampilan orang lain yang belum pernah
dilihat atau berada di luar kemampuannya. Menurut Vygotsky, manusia dapat
melakukan hal-hal yang melebihi tingkat perkembangannya melalui proses sosial,
yaitu dengan bekerjasama atau mendapat bantuan dari lingkungannya. Berikut
ini adalah pernyataannya.
… human learning
presupposes a specific social nature and a process by which children grow into
the intellectual life of those around them.
Children can imitate a
variety of actions that go well beyond the limits of their own capabilities.
Using imitation, children are capable of doing much more in collctive activity
or under the guidance of adults. (Vygotsky, 1978: 88)
Selain pernyataan
tersebut di atas, perlu juga dikutip pernyataan lainnya dalam pembahasan
tentang perkembangan fungsi intelektual tingkat tinggi (higher mental
function), yang menjadi ciri khas manusia.
… the mechanism itself
that is the basis of higher mental functions is a copy from the social. All
higher mental functions are the essence of internalized relations of a social
order, a basis for the social structure of the individual. Their compositions,
genetic structure, method of action—in a word, their entire nature—is social;
even in being transformed into mental processes, they remain quasisocial. Man
as an individual maintains the function of socializing. (Vygotksy, 1997c: 106)
Menurut pernyatan
tersebut kecerdasan intelektual manusia pada dasarnya adalah “a copy from
the social”, dalam semua aspeknya—susunan pembentuk, struktur genetika, dan
cara bertindak. Menurut Vygotsky proses internalisasi ini menjadi penciri utama
perkembangan intelegensi pada manusia, sebagai satu-satunya makhluk di bumi
yang berkembang, beradaptasi, dan juga mempengaruhi lingkungannya dengan
menggunakan alat (tool) atau tanda (sign) yang paling sempurna
yang disebut bahasa (speech). Karena bahasa, manusia mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan
mendapatkan banyak pengalaman baru. Pengalaman tersebut kemudian
diinternalisasi ke dalam untuk mematangkan kecerdasannya, sebagaimana dikutip
berikut ini:
Prior to mastering his own behavior, the child begins to
master the surrounding with the help of speech. This produces new relations
with the environment in addition to the new organization of behavior itself.
The creation of these uniquely human forms of behavior later produce the
intellect and become the basis of productive work: the specifically human form
of the use of tools. (Vygotsky, 1978:
p. 25)
Oleh karena itu menurut
Vygotsky, perkembangan intelektual manusia terjadi pada dua tataran: mula-mula
pada tataran sosial dan baru kemudian pada tataran intelektual. Pemaparan
proses tersebut secara rinci perlu dikutip lengkap di sini untuk memberikan
landasan bagi penentuan langkah dalam model PPM.
… the process of
internalization consists of a series of transformations:
(a) An operation
that intially represents an external activity is reconstructed and begins to
occur internally. Of particular importance to the development of higher
mental processes is the transformation of sign-using activity, the history and
characteristics of which are illustrated by the development of practical
intelligence, voluntary attention, and memory.
(b) An interpersonal
process is transformed into an intrapersonal one. Every function in the
child’s cultural development appears twice: first, on the social level, and
later, on the individual level; first, between people (interpsychological), and
then inside the child (intrapsychological). This applies equally to voluntary
attention, to logical memory, and to the formation of concepts. All the higher
functions originate as actual relations between human individuals.
(c) The
transformation of an interpersonal process into an intrapersonal one is the
result of a long series of developmental events. The process being
transformed continues to exist and to change as internal form of activity for a
long time before definitely turning inward. For many functions, the stage of
external signs last forever, that is, it is their final stage of development.
Other functions devlop further and gradually become innner functions. However,
they take on the character of inner processes only as a result of a prolonged
development. (Vygotsky, 1978: 56-57)
Pemaparan tersebut menyebutkan bahwa perkembangan manusia
pada dasarnya adalah peningkatan kemampuan dalam menggunakan tanda (sign-using
activity) untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Pemerolehan cara baru atau yang
lebih kompleks adalah dengan meniru orang-orang lain di sekitarnya, secara
terus menerus, dalam kurun waktu yang lama. Dalam hal peningkatan kemampuan
berwacana, perkembangan terjadi karena adanya kesempatan untuk terpajan dan
terlibat dalam proses penggunaan bahasa untuk mencapai berbagai tujuan,
tentunya dalam konteks penggunaan untuk memenuhi tuntutan hidup yang
sebenarnya. Oleh karena itu hubungan antara guru dan siswa yang didominasi oleh
komunikasi satu arah dalam dalam bentuk pemaparan dan penjelasan aturan (presentation)
bukanlah lingkungan sosial yang tepat untuk merubah kemampuan manusia
menggunakan bahasa Inggris untuk berwacana. Dalam proses tersebut tidak terjadi
proses sosial yang secara otentik mengaktifkan ketiga unsur genre—tujuan
sosial, struktur logika, dan penggunaan unsur kebahasaan yang sesuai—secara
bersamaan dalam konteks kehidupan yang sebenarnya.
Asumsi bahwa perkembangan pada dasarnya proses peniruan
juga berimplikasi pada peran guru dalam proses pembelajaran bahasa Inggris
sebagai bahasa asing. Untuk meningkatkan kemampuan berwacana dalam bahasa
Inggris, siswa perlu dihadapkan pada wacana yang memang layak untuk dijadikan
model jika tujuannya adalah mencapai penguasaan yang sebaik-baiknya. Semakin
dekat teks model yang digunakan dengan
yang dihasilkan atau digunakan oleh penutur asli, maka semakin besar
kemungkinan siswa dapat memahami atau menghasilkan teks-teks penutur asli.
Begitu juga sebaliknya. Jika demikian halnya maka guru bahasa Inggris, sebaik
apa pun, tidak dapat menjadi satu-satunya rujukan bagi siswa. Guru bahasa
Inggris pada umumnya belum tentu mampu menjadi model yang baik untuk membaca
berita, menulis anekot, peserta debat, menyampaikan pidato, bermain film,
nyanyi lagu pop, dsb.
Begitu juga halnya dengan buku teks, yang karena
keterbatasannya tidak mungkin dapat menyediakan berbagai jenis teks yang
benar-benar otentik yang masing-masing dalam jumlah yang memadai untuk
memungkinkan pembelajaran satu teks dalam kurun waktu yang lama. Meskipun
dilengkapi dengan kaset atau bentuk rekaman lainnya, buku teks juga tidak mampu
menyediakan wacana lisan yang secara alami melibatkan siswa dalam wacana
otentik.
Pemajanan terhadap teks-teks yang memang dihasilkan oleh ahlinya
dan berasal dari sumber-sumbernya yang sebenarnya (misalnya, koran, majalah,
film, penutur bahasa Inggris yang baik) tentunya akan berdampak lebih baik
terhadap tingkat penguasaan yang dapat dicapai siswa. Pada prinsipnya, semakin
baik kualitas teks dan wacana yang dihadapi, maka semakin baik pula tingkat
penguasaan yang kemungkinan akan dicapai siswa. Peran yang lebih baik untuk
guru atau buku teks adalah sebagai fasilitator dan alat bantu, yang dapat
memberikan bantuan dan balikan untuk memudahkan siswa mendekati kualitas model
yang diinginkan.
3. Peningkatan
Kemampuan Berwacana
Proses peniruan dalam perkembangan manusia tidak dapat
disamakan dengan mesin fotokopi, karena manusia mampu menirukan tindakan dan
tingkah laku di atas kemampuannya. Jika tidak demikian, maka tidak akan terjadi
peningkatan kemampuan mengatasi berbagai tuntutan hidup dan lingkungan yang
senantiasa berubah. Menurut Vygotsky (1978: 89), “the only ‘good learning’
is that which is in advance of development”. Untuk dapat berkembang,
manusia harus selalu berada lingkungan sosial yang memberikan tantangan untuk
melakukan tindakan di atas atau di luar kemampuan yang dimiliki saat ini.
Pertanyaannya adalah berapa besar tingkat kesulitan yang dapat dihadapi yang
memungkinkan terjadinya perkembangan?
Berkenaan dengan tingkat kesulitan ini, Vygotsky dan Piaget
memiliki teori yang sejalan meskipun berbeda cara peninjauannya. Menurut
Vygotksy, suatu fungsi intelektual akan berkembang jika dihadapkan pada tingkat
kesulitan yang berada dalam suatu zona yang dikenal dengan istilah ‘the zone
of proximal development’ (selanjutnya, ZPD). Zona ini berada dalam jarak
antara tingkat perkembangan yang sebenarnya (sudah dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah secara mandiri) dengan tingkat perkembangan potensial
(sudah dapat digunakan tetapi dengan bantuan atau bekerjasama dengan orang yang
lebih mampu).
Terlihat dalam definisi tersebut bahwa tingkat kesulitan
yang dimaksudkan masih harus bersinggungan dengan tingkat kemampuan yang sudah
dikuasai, yang digunakan sebagai ‘pijakan’ untuk dapat merangkak naik ke atas.
Pemahaman ini sejalan dengan konsep asimilasi dan akomodasi yang digunakan
Piaget untuk mendeskripsikan perkembangan intelektual manusia (dalam Flavell,
1963: 48). Proses akomodasi, yang merupakan esensi dari perkembangan, merupakan
proses menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan yang terjadi setelah diawali
dengan proses asimilasi, yaitu proses pembentukan persepsi tentang lingkungan
sesuai dengan tingkat pemahamannnya.
Menurut pandangan Vygotsky dan Piaget tersebut, kemampuan
siswa untuk berwacana akan senantiasa berkembang jika selalu dihadapkan pada
situasi di mana mereka perlu menggunakan bahasa Inggris untuk melakukan
tindakan yang di atas kemampuan yang dimiliki saat ini, yang masih dapat
dikerjakan dengan bekerjasama atau mendapat bantuan dari orang-orang lain yang
lebih mampu. Terlihat dalam pemahaman tersebut, bahwa zona perkembangan
tersebut tidak dapat direkayasa, tetapi muncul secara alami dalam proses
menghadapi kesulitan dalam berwacana.
Pemahaman ini berimplikasi terhadap proses pembelajaran
bahasa Inggris di sekolah pada perlunya merubah peran guru dan siswa. Selama
ini, sangat mungkin karena adanya anggapan guru sebagai penyampai ilmu, guru
senantiasan menjadi ‘nara sumber’ yang membuat semua keputusan termasuk
menentukan proses, hasil, maupun penilaiannya, sedangkan siswa hanya mengikuti.
Keaktifan siswa diukur dari sejauh mana dia mengikuti program pembelajaran
guru. Berdasarkan pandangan Vygotsky dan Piaget, pusat pembelajaran adalah pada
siswa yang dihadapkan pada tantangan untuk menghadapi masalah dengan teks-teks
yang memiliki tingkat kesulitan pada zona ZPD atau yang dapat diakomodasi oleh
sistem kognisi siswa. Peran guru adalah sebagai fasilitator untuk memungkonkan
pembelajaran terjadi. Begitu juga halnya dengan teman, yang sebelumnya
sama-sama menjadi penerima apapun dari guru, menurut pandangan terakhir, perlu
bertindak sebagai rekan kerjasama atau bahkan pembimbing bagi siswa lainnya.
4. Model Pembelajaran “Pengamatan
dan Peniruan Model” (PPM)
Pemaparan di atas memberikan dukungan
yang cukup kuat untuk menggunakan unsur dan urutan langkah dalam SLT sebagai
dasar untuk pengembangan model pembelajaran PPM, dengan melakukan perubahan
dalam penamaan beberapa istilah serta penentuan langkah-langkah berdasarkan
teori belajar lain, terutama yang dikembangkan oleh Vygotsky. Selanjutnya akan
ditentukan tindakan operasional yang diperlukan untuk memungkinan model
tersebut diterapkan dalam konteks pendidikan fomal di SMP dan SMA. Untuk ini
perlu dipertimbangkan berbagai permasalahan yang ada di lingkungan pendidikan
formal di Indonesia saat ini, terutama kebiasaan guru yang sudah mengakar dalam
mengajar dengan pola 3P dan berbasis pada penggunaan buku teks.
Sebagai langkah awal, perlu ditentukan
nama yang sesuai untuk setiap langkah tindakan yang perlu dilakukan dalam model
pembelajaran tersebut. Untuk ini, akan digunakan sebagai dasar adalah
istilah-istilah yang digunakan dalam SLT, yaitu attention, retention,
reproduction, dan motivation. Oleh karena model pembelajaran
biasanya merupakan rangkaian tindakan, istilah-istilah tersebut kurang tepat
karena merepresentasikan hasil. Untuk secara langsung merepresentasikan
langkah, model PPM menggantinya dengan istilah-istilah berikut, yaitu (1)
‘pembiasaan’ (agar tercapai attention), (2) ‘penyadaran unsur dan
aturan’ (agar tercapai retention), (3) ‘peniruan’ (agar terjadi reproduction),
dan (4) ‘penciptaan suasana yang mendukung’ (agar timbul motivation
untuk melakukannya). Berikut ini adalah rincian dari setiap langkah tersebut
dalam konteks pembelajaran bahasa asing berbasis genre.
1.
Pembiasaan terhadap
Unsur dan Aturan Genre
Proses pembiasaan
merupakan proses sosial di mana individu terpajan dan terlibat secara alami
dalam berbagai kegiatan komunikatif dalam suatu genre. Tujuannya adalah
mencapai satu titik di mana dalam sistem intelektual manusia mulai timbul
perhatian (attention) pada unsur dan aturan genre. Pertanyaannya adalah
bagaimana proses internalisasi tindakan sosial ke dalam perubahan sistem
intelektual dapat terjadi?
Bandura (1977) telah
mengidentifikasi beberapa ciri proses sosial yang berpotensi mengarah pada
pencapaian tahap attention. Menurutnya, proses penarikan perhatian akan
terjadi secara alami jika tidak dirasa sulit oleh siswa (simple),
aspek-aspek yang perlu diperhatikan mudah diidentifikasi (distinctive),
berlangsung terus menerus dalam waktu lama dan dalam frekuensi yang tinggi
dalam kehidupan siswa (prevalent), dianggap berguna oleh siswa (useful),
dan juga dianggap memiliki nilai positif oleh siswa (positive).
Berdasarkan asumsi tersebut, unsur dan aturan suatu genre dapat masuk dalam
perhatian siswa jika siswa terus menerus terlibat dalam kegiatan komunikatif
dengan menggunakan teks-teks yang relevan, yang berguna bagi dirinya, dihargai
oleh lingkungannya, dengan menggunakan materi dan langkah-langkah kegiatan yang
menurut siswa mudah untuk dicerna dan dilakukan, serta secara alami menonjolkan
unsur dan aturan genre yang bersangkutan.
Setiap ciri tersebut
sejalan dengan pembahasan proses peniruan berdasarkan pandangan Vygotsky.
Misalnya, untuk kriteria mudah (simple), Vygotsky sudah memberikan
batasan, yaitu dalam zona ZPD. Teks-teks yang harus dibaca, didengar, dan
ditulis perlu dipilih agar tidak terlalu sederhana atau pada tingkat penguasaan
yang sama dengan yang dikuasai siswa, sehingga tidak akan menghasilkan
peningkatan kemampuannya. Jika terlalu sulit, kemungkinan siswa tidak akan
dapat melakukan apa-apa atau justru sengaja menghindar. Penyederhanaan teks
yang sulit untuk disesuaikan pada tingkat kemampuan siswa akan beresiko
menghilangkan otentisitas teks tersebut, terutama jika dilakukan bukan oleh
orang yang menguasai genre yang bersangkutan.
Kemudahan dalam
berinteraksi dengan teks otentik dapat juga dicapai dengan menggunakan atau
melakukannya dalam konteks yang sebenarnya. Misalnya, untuk belajar ngobrol,
ruang terbuka dalam keadaan santai akan lebih sesuai dibandingkan dengan ruang
kelas yang kalu. Dengan hilangnya kendala yang terkait dengan tempat, siswa
akan lebih dapat bebas bertanya jawab dan saling membantu, termasuk meminta
bantuan kepada guru. Untuk meniru cara membaca berita, menonton langsung
rekaman siaran berita dengan duduk santai dan bersila akan lebih mudah dibandingkan
dengan mengikuti cara membaca berita oleh guru, apalagi di dalam ruang kelas
yang penuh.
Kedua, aspek-aspek yang
perlu dikuasai perlu terpajan secara jelas dalam kegiatan berwacana. Hal ini
dapat dicapai melalui proses pembimbingan dalam zona ZPD, misalnya dengan
menggunakan teknik pertanyaan yang menuntun (guiding questions), atau
penggunaan tanda-tanda seperti cetak tebal atau miring, teknik pengulangan,
dsb.
Ketiga, sebagaimana
dalam pandangan Vygotsky, pemajanan dan keterlibatan secara terus menerus dalam
waktu yang lama (prevalence) dalam wacana yang diinginkan dikuasai siswa
juga menjadi salah satu syarat untuk membangkitkan perhatian terhadap unsur dan
aturan genre. Hal ini
juga dinyatakan oleh Swales (1990) terkait dengan pencapaian tinkat penguasaan
unsur dan aturan genre.
Keempat, siswa hanya
akan tertarik untuk terlibat dalam suatu wacana jika dia merasakan bahwa
tindakan yang dia ingin kuasai memiliki nilai positif serta memiliki kegunaan
untuk hidupnya pada saat ini maupun yang akan datang. Hal ini juga disinggung
oleh Wells (1999) dalam membahas tentang proses belajar.
2.
Penyadaran Unsur dan
Aturan Genre
Sadar akan unsur dan
aturan berarti memiliki merepresentasikan hasil pengamatan ke dalam
simbol-simbol kognitif, gambar visual, atau penggunaan bahasa, yang dapat
disimpan dalam memorinya dalam waktu lama. Terkait dengan penguasaan bahasa
asing, tahap ini adalah tahap di mana individu dapat menangkap suatu kejadian
komunikatif dalam bentuk teks yang memiliki kejelasan unsur dan aturan genrenya.
Tingkat ini dicapai setelah siswa sangat terbiasa memahami atau berkomunikasi
aktif dengan berbagai teks dalam genre yang dipelajari.
Tingkat kemampuan ini
sangat penting dikuasai jika tingkat literasi yang ingin dicapai sampai pada
tahap analisis atau menghasilkan teks dengan ketepatan unsur dan aturan genre
yang memadai. Kenyataan membuktikan bahwa tidak semua siswa mampu mencapai
tingkat ini untuk setiap genre yang ada. Terkait dengan genre naratif,
misalnya, banyak siswa yang mampu memahami cerita dengan baik, tetapi agak
sulit mengharapkan mereka untuk dapat menghasilkan sebuah cerita dengan
kualitas yang baik. Hal ini bahkan terjadi juga dalam pembelajaran bahasa ibu.
Menjadi sadar akan
unsur dan aturan genre ini bukan hanya akan membuat penguasaan terhadap suatu
genre menjadi lebih kuat, dan selanjutnya dapat menangkap kelenturan genre
dalam menghadapi konteks sosial yang sedang berlangsung. Dalam sebuah
pernyataan yang sudah dikutip sebelumnya, Christie (1987: 30) mengindikasikan
bahwa jika tujuan penguasan suatu bentuk tingkah laku bukan sekedar untuk bisa
hidup (survival), tetapi sampai pada kenginan merubah lingkungan,
diperlukan pemahaman yang baik tentang unsur dan aturan tingkah laku yang
bersangkutan. Dengan kata lain, jika kreativitas dianggap penting dikuasai,
maka diperlukan penguasaan sampai pada tahap ini.
Namun jika tingkat
kemampuan yang diharapkan dapat dicapai siswa hanya sampai tingkat di mana
‘yang penting makna tersampaikan atau dapat dipahami’ dan ketepatan unsur dan
aturan tidak diperlukan, maka siswa tidak perlu dituntut untu memiliki
pemahaman eksplisit tentang itu. Hal ini terbukti pada data Swain (1985:
235-253) tentang penguasaan bahasa Perancis yang dimiliki siswa dengan latar
belakang Inggris yang mengikuti program imersi di Kanada. Dalam program
tersebut siswa dituntut untuk mengikuti pelajaran dalam bahasa Perancis. Dalam
waktu tujuh tahun mereka sudah dapat mengikuti pelajaran dengan baik, dan dapat
bergaul dengan guru dan lingkungannya dengan baik pula. Namun karena tidak
ditekankan perlunya penyadaran unsur dan aturan kebahasaan, ketepatan mereka
dalam aspek ini tidak dapat mencapai tingkat penutur asli.
Implikasinya adalah
untuk menentukan apakah pembelajaran bahasa berbasis genre perlu atau tidak
perlu sampai pada tahap penyadaran unsur dan aturan sangat tergantung pada
tingkat penguasaan yang kemungkinan dapat dicapai siswa pada genre yang
bersangkutan.
3.
Peniruan Model.
Tahap ini menunjuk pada kemampuan menghasilkan teks. Tahap ini hanya dapat
dilakukan jika pemahaman tentang ketiga unsur pembentuk teks sudah sangat
dikuasai. Dalam pembelajaran bahasa asing, perlu diperhatikan juga bahwa
tuntutan akan tingkat ketepatan unsur dan aturan genre perlu disesuaikan dengan
tingkat kemampuan yang dapat dicapai siswa dalam genre yang bersangkutan. Di
samping itu, perlu diingat bahwa tidak ada orang yang mampu mencapai tingkat
penguasaan ahli untuk setiap genre yang ada terutama untuk pembuatan teks-teks
yang memerlukan bakat dan keahlian khusus, misalnya cerita, puisi, drama,
pidato, dan semacamnya. Maka dari itu mengharapkan siswa untuk mencapai tahap
ini, untuk setiap genre dan pada setiap tingkat kompetensi dalam bahasa
Inggris, bukan hanya tidak mungkin dicapai, tetapi justru akan berakibat pada
hilangnya minat siswa untuk menguaai bahasa tersebut.
Namun bagi siswa yang memang mampu, pada genre tertentu, kegiatan
menghasilkan teks akan membuatnya semakin terampil serta mencapai tingkat
ketapatan yang semakin tinggi. Untuk ini Swain (1995) menekankan perlunya
mendorong siswa untuk menghasilkan ‘comprehensible output’, yaitu produk
yang menekankan pentingnya ketepatan kebahasaan.
Dalam proses
menghasilkan teks, siswa akan menyadari kekurangannya, dan oleh karena berusaha
untuk mengatasi kekurangan itu. Dengan demikian semakin baik lah penguasaan
unsur dan aturan genre, yang selanjutnya akan berdampak pada kualitas teks yang
dihasilkan.
4.
Penciptaan Suasana
Pembelajaran yang Menunjang
Penciptaan suasana yang
mendukung akan sangat mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar bahasa Inggris
di sekolah. Dalam konteks
pembelajaran bahasa Inggris di SMP dan SMA, hal ini sangat tergantung pada
guru. Oleh karena itu, untuk menerapkan model PPM ini di konteks pendidikan
formal di Indonsia, permasalahan utama yang dihadapi terkait pada faktor guru,
yaitu karena kebiasaan dan pamahaman pola pembelajaran 3P yang sudah sangat
mengakar. Di lain pihak, model pembelajaran PPM sangat bertolak
belakang dalam hal arah dan tuntutan, serta memerlukan konteks pembelajaran
yang sangat berbeda dalam berbagai aspeknya, termasuk materi, tempat dan waktu
belajar, fasilitas yang diperlukan, serta heterogenitas dalam penentuan tingkat
penguasaan dalam setiap genre yang berbeda.
Untuk menerapkan model ini, perlu ada
dukungan materi otentik yang tidak sedikit. Terkait dengan ini, banyak guru
yang memang tidak mampu membaca, mendengar, atau pun terlibat dengan teks-teks
otentik. Terutama dalam penguasaan bahasa lisan, banyak guru yang tidak dapat
melafalkan bunyi-bunyi bahasa Inggris dengan baik, sehingga sulit menharapkan
mereka menjadi model bagi siswanya bahkan untuk teks-teks yang paling
sederhana. Di samping itu, selama ini guru terbiasa dengan teks yang seragam
bagi setiap siswa, yang biasanya disediakan dalam buku teks. Tentunya tidak
mudah bagi guru menghadapi kelas di mana setiap siswa menggunakan teks yang
berbeda-beda pada saat yang sama.
Kesulitan lain terkait pada waktu dan
tempat belajar. Selama ini guru terbiasa melakukan kegiatan pembelajaran di
kelas dan bertanggung jawab hanya pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
selama tatap muka. Kemungkinan akan sangat sulit bagi guru untuk merencanakan
dan mengelola pembelajaran di luar kelas dan di luar jam pelajaran. Juga karena
fokus yang terlalu terbatas hanya pada tempat dan waktu belajar di dalam kelas
selama ini, banyak guru yang menganggap bahwa media yang tpat untuk
pembelajaran adalah media sering digunakan semala ini, seperti gambar,
flashcard, chart, dsb. Untuk menerapkan model PPM, yang menekankan otentisitas
kegiatan, kemungkinan guru juga akan mengalami kesulitan dalam memanfaatkan
berbagai fsilitas yang lebih sesuai, yaitu yang disediakan oleh alam di luar
kelas.
Untuk menciptakan suasana yang
mendukung keterlaksanaan model PPM di SMP dan SMA, tidak seharusnya
dilaksanakan berdasarkan asumsi, tetapi berdasarkan penelitian langsung di
lapangan. Maka dari itu, tujuan berikutnya dari penelitian ini adalah
menganalisis data yang diperoleh dari penerapan model PPM di SMP an SMA.
C. Depdiknas “Pedoman Umum
Pengembangan Syllabus”
1. Standar Kompetensi Lulusan SMA
Standar Kompetensi Lulusan
Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan
pendidikan, yakni: Pendidikan Menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C
bertujuan: meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia,
serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Acuan untuk merumuskan
kompetensi lulusan dapat berupa landasan yuridis yaitu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan persyaratan yang ditentukan oleh pengguna
lulusan atau dunia kerja (workplace).
Secara yuridis, kompetensi lulusan SMA dapat dijabarkan dari perumusan tujuan
pendidikan yang terdapat di dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3
dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Perumusan aspek-aspek
kompetensi secara rinci dapat dilakukan dengan menganalisis kompetensi. Bloom et al. (1956: 17) menganalisis kompetensi
menjadi tiga aspek, dengan tingkatan yang berbeda-beda setiap aspeknya, yaitu
kompetensi:
a.
kognitif,
meliputi tingkatan pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan
penilaian.
b.
afektif,
meliputi pemberian respons, penilaian, apresiasi, dan internalisasi.
c.
psikomotorik, meliputi keterampilan gerak awal, semi
rutin dan rutin.
Berbeda
dengan Bloom, Hall & Jones (1976: 48) membagi kompetensi menjadi 5 macam,
yaitu kompetensi:
a.
kognitif
yang mencakup pengetahuan, pemahaman, dan perhatian.
b.
afektif
yang menyangkut nilai, sikap, minat, dan apresiasi.
c.
Penampilan
yang menyangkut demonstrasi keterampilan fisik atau psikomotorik.
d.
produk
atau konsekuensi yang menyangkut keterampilan melakukan perubahan terhadap
pihak lain.
e.
eksploratif
atau ekspresif, menyangkut pemberian pengalaman yang mempunyai nilai kegunaan
di masa depan, sebagai hasil samping yang positif.
Berdasarkan rumusan tersebut,
maka kompetensi dapat dikelompokkan menjadi kompetensi yang berkenaan dengan
bidang moral keagamaan, kemanusiaan (humaniora),
komunikasi, estetika, dan IPTEK.
Hal ini tercantum dalam Permendiknas
nomor 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Pasal 1:
(1)
Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan menengah digunakan sebagai
pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik.
(2)
Standar
Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar
kompetensi lulusan minimal Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Standar
Kompetensi Lulusan minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi
lulusan minimal mata pelajaran.
(3)
Standar
Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran
Peraturan Menteri ini.
SKL Satuan Pendidikan untuk SMA
sebagaimana yang tercantum pada lampiran Permendiknas nomor 23 tahun 2006,
adalah:
·
Berperilaku
sesuai dengan ajaran agama yang dianut sesuai dengan perkembangan remaja;
·
Mengembangkan
diri secara optimal dengan memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki
kekurangannya
·
Menunjukkan
sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan
pekerjaannya;
·
Berpartisipasi
dalam penegakan aturan-aturan sosial;
·
Menghargai
keberagaman agama, bangsa, suku, ras,
dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global;
·
Membangun
dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan
inovatif;
·
Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif,
dan inovatif dalam pengambilan putusan;
·
Menunjukkan
kemampuan mengembangkan budaya belajar untuk pemberdayaan diri;
·
Menunjukkan
sikap kompetitif dan sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik;
·
Menunjukkan
kemampuan menganalisis dan memecahkan
masalah kompleks;
·
Menunjukkan
kemampuan menganalisis gejala alam dan sosial;
·
Memanfaatkan
lingkungan secara produktif dan
bertanggung jawab;
·
Berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis dalam
wadah NKRI;
·
Mengekspresikan
diri melalui kegiatan seni dan budaya;
·
Mengapresiasi
karya seni dan budaya;
·
Menghasilkan karya kreatif, baik
individual maupun kelompok;
·
Menjaga kesehatan dan keamanan diri,
kebugaran jasmani, serta kebersihan lingkungan;
·
Berkomunikasi
lisan dan tulisan secara efektif dan santun;
·
Memahami
hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
·
Menghargai
adanya perbedaan pendapat dan berempati terhadap orang lain;
·
Menunjukkan
keterampilan membaca dan menulis naskah secara sistematis dan estetis;
·
Menunjukkan
keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia
dan Inggris;
·
Menguasai
pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan tinggi.
Berdasarkan profil kompetensi
lulusan tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam sejumlah SK dan Kompetensi mata pelajaran
yang relevan yang diperlukan untuk mencapai kebulatan kompetensi tersebut.
2.
Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Untuk memantau perkembangan
mutu pendidikan diperlukan SK. SK dapat didefinisikan sebagai "pernyataan
tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai peserta didik
serta tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu
mata pelajaran" (Center for Civics Education, 1997:2). Menurut definisi tersebut, SK mencakup dua hal, yaitu standar isi (content standards), dan standar
penampilan (performance standards).
SK yang menyangkut isi berupa pernyataan tentang pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang harus dikuasai peserta
didik dalam mempelajari mata pelajaran
tertentu seperti Kewarganegaraan, Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris. SK yang menyangkut tingkat penampilan adalah
pernyataan tentang kriteria untuk menentukan tingkat penguasaan peserta
didik terhadap SI.
a. Penentuan
Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Perlu diingat kembali, bahwa
kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat
didemonstrasikan, ditunjukkan, atau ditampilkan oleh peserta didik sebagai
hasil belajar. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka SK, adalah standar
kemampuan yang harus dikuasai peserta didik untuk menunjukkan bahwa hasil
mempelajari mata pelajaran tertentu berupa penguasaan atas pengetahuan, sikap,
dan keterampilan tertentu telah dicapai.
Langkah-langkah menganalisis dan mengurutkan SK adalah:
·
menganalisis
SK menjadi beberapa KD;
·
mengurutkan
KD sesuai dengan keterkaitan baik secara prosedur maupun hierarkis.
Dick &
Carey (1978: 25) membedakan dua pendekatan pokok dalam analisis dan urutan SK
di samping pendekatan yang ketiga yakni gabungan antara kedua pendekatan pokok
tersebut. Dua pendekatan dimaksud adalah pertama pendekatan prosedural, dan
kedua pendekatan hierarkis (berjenjang). Sedangkan gabungan antara kedua
pendekatan tersebut dinamakan pendekatan kombinasi.
§ Pendekatan Prosedural
Pendekatan
prosedural (procedural approach)
dipakai bila SK yang harus dikuasai berupa serangkaian langkah-langkah secara
urut dalam mengerjakan suatu tugas pembelajaran.
Diagram 2. Pendekatan Prosedural
Contoh dalam pelajaran Ilmu
Sosial Terpadu (IST) ada beberapa SK yang diharapkan dapat dipelajari secara
berurutan. Guru diharapkan dapat menyajikan mana yang akan didahulukan.
Misalnya kompetensi; (1) Mengidentifikasi konsep-konsep yang membangun IST, (2)
Mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, dan (3)
Mendeskripsikan perubahan sosial budaya masyarakat. Dari ketiga kompetensi
tersebut, maka kompetensi untuk mengidentifikasi konsep-konsep yang membangun
IST harus paling dahulu dipelajari, setelah itu baru mempelajari dua kompetensi
berikutnya. Di antara kedua kompetensi berikutnya maka penguasaan terhadap
kompetensi mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan
lingkungannya lebih didahulukan agar peserta didik dengan mudah mendeskripsikan
perubahan sosial budaya masyarakat, mengingat perubahan yang terjadi justru
sebagai salah satu akibat hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungannya. Bila disajikan dalam bentuk diagram dapat dilihat pada Diagram 2
berikut.
Diagram 2. Pendekatan Prosedural
Beberapa hal yang perlu
dicatat dari contoh tersebut:
·
peserta
didik harus menguasai SK tersebut secara
berurutan.
·
Masing-masing
SK dapat diajarkan secara terpisah (independent)
·
Hasil
(output) dari setiap langkah merupakan masukan (input) untuk
langkah berikutnya.
Pendekatan Hierarkis
Pendekatan hierarkis menunjukkan hubungan yang bersifat
subordinatif antara beberapa SK yang ingin dicapai. Dengan demikian ada yang
mendahului dan ada yang kemudian. SK yang mendahului merupakan prasyarat bagi
SK berikutnya.
Untuk mengidentifikasi beberapa SK
yang harus dipelajari lebih dulu agar peserta didik dapat mencapai SK yang
lebih tinggi dilakukan dengan jalan mengajukan pertanyaan "Apakah yang
harus sudah dikuasai oleh peserta didik, agar dengan pengajaran yang seminimal
mungkin dapat diketahui SK yang diperlukan sebelum peserta didik dapat
menguasai SK berikutnya?"
Untuk
memperjelas, berikut disajikan diagram analisis SK menurut pendekatan hierarkis
dalam mata pelajaran matematika.
Diagram 2. Pendekatan Hierarkis
Langkah-langkah
pengembangan sylabus
a.
Mengkaji Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar
Mengkaji
SK dan KD mata pelajaran sebagaimana tercantum pada SI, dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1.
Urutan berdasarkan hierarki konsep
disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan
materi, tidak
harus selalu sesuai dengan urutan yang ada di SI dalam tingkat;
2. Keterkaitan antara SK dan KD dalam mata pelajaran;
3. Keterkaitan antar KD pada mata pelajaran;
4.
Keterkaitan antara SK dan KD antar mata pelajaran.
b.
Mengidentifikasi
Materi Pembelajaran
Mengidentifikasi materi pembelajaran yang menunjang
pencapaian KD dengan mempertimbangkan:
·
potensi
peserta didik;
·
karakteristik
mata pelajaran;
·
relevansi
dengan karakteristik daerah;
·
tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional,
sosial dan spritual peserta didik;
·
kebermanfaatan
bagi peserta didik;
·
struktur
keilmuan;
·
aktualitas,
kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
·
relevansi
dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan
·
alokasi
waktu.
1. Melakukan Pemetaan Kompetensi
a.
mengidentifikasi
SK, KD dan materi pembelajaran
b.
Mengelompokkan
SK, KD dan materi pembelajaran
c.
Menyusun
SK, KD sesuai dengan keterkaitan
2. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan
pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan
proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik
dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian KD.
Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan
pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman
belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran
adalah:
·
Disusun untuk memberikan bantuan kepada
para pendidik (guru), agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara
profesional.
·
Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian
kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai KD.
·
Penentuan urutan kegiatan pembelajaran
harus sesuai dengan hierarki konsep materi pembelajaran.
·
Rumusan pernyataan dalam kegiatan
pembelajaran minimal mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan
pengalaman belajar peserta didik, yaitu kegiatan peserta didik dan materi.
3.
Merumuskan Indikator Pencapaian
Kompetensi
Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai
oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik,
mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata
kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan
sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.
Kata Kerja Operasional
(KKO) indikator dimulai dari tingkatan berpikir mudah ke sukar, sederhana ke
kompleks, dekat ke jauh, dan dari konkret ke abstrak (bukan sebaliknya).
Kata kerja operasional pada KD benar-benar terwakili dan
teruji akurasinya pada deskripsi yang ada di kata kerja operasional indikator.
4.
Penentuan Jenis Penilaian
Penilaian pencapaian KD peserta didik dilakukan berdasarkan
indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk
tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil
karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan
penilaian diri.
Penilaian merupakan serangkaian
kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses
dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan
keputusan.
5.
Menentukan Alokasi Waktu
Penentuan alokasi waktu pada setiap KD
didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per
minggu dengan mempertimbangkan jumlah KD, keluasan, kedalaman, tingkat
kesulitan, dan tingkat kepentingan KD. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam
silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai KD yang dibutuhkan
oleh peserta didik yang beragam.
6.
Menentukan Sumber Belajar
Sumber belajar adalah rujukan, objek
dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media
cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan
budaya. Penulisan buku sumber harus sesuai kaidah yang berlaku dalam Bahasa
Indonesia.
Penentuan sumber belajar didasarkan pada SK dan KD serta
materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.
D. Pembelajaran Cooperative
Learning (Anita Lie. 2007. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo)
1. Cooperative Learning
Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi
pelajaran yang diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat
merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang
matang oleh guru.
Model pembelajaran Cooperative
Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran
kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai
sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam
struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu
saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal,
keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
Falsafah yang mendasari pembelajaran
Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan adalah “homo
homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Cooperative Learning adalah suatu
strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama
dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang
teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Pembelajaran kooperatif adalah salah
satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran
kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota
kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas
kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling
membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar
dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai
bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya
“Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tidak
sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan
David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap
Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran
gotong royong yaitu :
1.Saling ketergantungan positif
Keberhasilan suatu karya sangat
bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang
efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota
kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai
tujuan mereka.
2.Tanggung jawab perseorangan
Jika tugas dan pola penilaian dibuat
menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan
merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif
dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun
tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok
bisa dilaksanakan.
3.Tatap muka
Dalam pembelajaran Cooperative
Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini
adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4.Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para
pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan
suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling
mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka.
Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun,
proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk
memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional
para siswa.
5.Evaluasi proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu
khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja
sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Urutan langkah-langkah perilaku guru
menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997) adalah
sebagaimana terlihat pada table berikut ini
Tabel Sintaks Pembelajaran Kooperatif
B. Tujuan Pembelajaran Cooperative Learning
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang
menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada
kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah
menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi
oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya
tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000),
yaitu:
1.Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga
memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa
ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami
konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model
struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada
belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di
samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran
kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun
kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2.Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas
dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan,
dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari
berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada
tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar
saling menghargai satu sama lain.
3.Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan
sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih
kurang dalam keterampilan sosial.
C. Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik
Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan
teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan
teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode
Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca,
menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman
siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi
lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam
suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi
dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran
kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang
bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan
materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran
kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6
orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan
bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari
dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends,
1997).
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap
pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya
mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan
mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan
demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama
secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk
diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran
yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim /
kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa
yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan
kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan
siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam.
Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu
kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang
ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan
tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada
anggota kelompok asal.
Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut
(Arends, 1997) :
Kelompok Asal
Kelompok Ahli
Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw
Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :
- Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
Gambar Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw
- Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
- Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
- Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
- Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
- Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan
mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat
menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran
Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut :
- Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.
- Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
- Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
- Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
- Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan
baik, maka upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
- Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
- Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.
- Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
- Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
- Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
2.
Contextual
Teaching Learning
·
Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Apa yang dimaksud dengan
pembelajaran kontekstual tidak ada sebuah definisi atau pengertian tunggal.
Setiap pakar dan komunitas pakar memberikan definisi beragam. Namun mereka
bersepakat bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang
mendorong pembelajar untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi
penuh makna antara apa yang dipelajari dengan realitas, lingkungan personal,
sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini (Moh.Imam Farisi,2005).
Beberapa definisi pembelajaran kontekstual yang
pernah ditulis dalam beberapa sumber, yang dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam
bukunya “ Kontekstual dan penerapannya dalam KBK “.
1.
Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa
melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu, dengan
konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan
tersebut, system CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL:
melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur
cara belajar sendiri, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/
merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan assessment
autentik.
2.
Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat,
memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam
berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan
yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa
menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah
riel yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka sebagai angota
keluarga, anggota masyarakat, siswa, dan selaku pekerja. Pengajaran dan
pembelajaran kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer
pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan
mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.
3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar yang bebas.
3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar yang bebas.
Principals, school boards, parents,
and other members of the community must support this approach… to increase its
probability of success" (Carr, M., et al., 1999, p.2). For CTL to be
successful for all students, a school must value and support the approach.
Newmann and Wehlage (1997) describe a system of support for authentic learning
that has been adapted to describe supports for CTL.
·
Delapan Komponen Utama Dalam Sistem Pembelajaran Kontekstual
1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat ( learning by doing ).
1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat ( learning by doing ).
2.
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan ( doing significant work ). Siswa
membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam
kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
3. Belajar yang diatur sendiri ( self-regulated learning ). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya / hasilnya yang sifatnya nyata.
3. Belajar yang diatur sendiri ( self-regulated learning ). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya / hasilnya yang sifatnya nyata.
4.
Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa
bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana
mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5. Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat menganalsis, membuat sintetis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan buki-bukti.
5. Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat menganalsis, membuat sintetis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan buki-bukti.
6.
Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa
memelihara pribadinya : mengetahui, memberi perhatian, memilki harapan-harapan
yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil
tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high
standards). Siswa mengenal dan mencapai standard yang tinggi : mengidentifikasi
tujuan dan memoivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa
cara mencapai apa yang disebut “excellence”
8. Menggunakan penilaian autentik ( using
authentic assessment ). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks
dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh
menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran
sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan
mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah atau membuat penyajian
perihal emosi manusia.
Prinsip-prinsip pembelajaran
1.
Melakukan hubungan yang bermakna
2.
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan
3.
Belajar yang diatur sendiri
4.
Bekerjasama
5.
Berfikir kritis dan kreatif
6.
Memelihara atau mengasuh pribadi siswa
7.
Mencapai standar yang tinggi
8.
Terdeteksi oleh penilaian autentik
Kata-Kata Kunci
Pembelajaran CTL
1.
Real World Learning
2.
Mengutamakan Pengalaman Nyata
3.
Berpikir Tingkat Tinggi
4.
Berpusat Pada Siswa
5.
Siswa Aktif, Kritis, Dan Kreatif
6.
Pengetahuan Bermakna Dalam Kehidupan
7.
Dekat Dengan Kehidupan Nyata
8.
Perubahan Prilaku
9.
Siswa Praktek Bukan Menghafal
10.
Learning Bukan Teaching
11.
Pendidikan (Education) Bukan Pengajaran(Instruction)
12.
Pembentukan 'Manusia'
13.
Memecahkan Masalah
14.
Siswa 'Akting' Guru Mengarahkan
15.
Hasil Belajar Diukur Dengan Berbagai Cara Bukan Hanya Dengan Test
3.
Langkah-langkah atau prosedur pembelajarannya
CTL dapat diterapkan dalam
kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun
keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar,
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut.
a.
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan
dan keterampilan barunya.
b.
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua
topik.
c.
Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d.
Ciptakan masyarakat belajar.
e.
Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f.
Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g.
Lakukan
penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
3. PAIKEM
PAIKEM
adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan.Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus
menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan,
dan mengemukakan gagasan.Pembelajaran inovatif bisa mengadaptasi dari model
pembelajaran yang menyenangkan. Learning is fun merupakan kunci yang diterapkan
dalam pembelajaran inovatif.
Kreatif dimaksudkan agar guru menciptakan
kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan
siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa
memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah
perhatiannya (“time on task”) tinggi.
Menurut
hasil penelitian, tingginya waktu curah perhatian terbukti meningkatkan hasil
belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran
tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah
proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran
yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak
efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.
PAIKEM
(pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) salah satu
metode pembelajaran berbasis lingkungan. Metode ini mampu melibatkan siswa
secara langsung dengan berbagai pengenalan terhadap lingkungan.
Konsep Pendekatan
SETS (Sains Environment Technology and Society)
Pendekatan
sains-teknologi-masyarakat (SETS = science, environment, technology,
society) me rupakan salah satu model atau pendekatan untuk menyesuaikan
diri terhadap perkembangan sains yang cepat dan menjawab perubahan para digma
di atas. Pendekatan SETS pada awalnya dikembangkan untuk pembelajaran sains,
khususnya sains alam, walaupun dapat dikaji penggunaannya pada pembela jaran
bidang-bidang lain.
Kerangka
pembelajaran SETS yang menempatkan tanggung jawab sosial sebagai tujuan utama
dalam pembelajaran sains, akhirnya menuntut perubahan tidak hanya pada metode
pembelajaran di kelas, tetapi juga perubahan mendasar pada kurikulum. Beberapa
negera telah berusaha menempatkan pembelajaran berbasis SETS dalam kurikulum
sekolah menengah mereka, seperti Kanada(4) dan Australia,
tetapi beberapa laporan menyebutkan bahwa tidaklah mudah untuk akhirnya
benar-benar diterapkan di kelas, karena diperlukan pengenal an yang intensif
kepada guru-guru sekolah menengah.
Walaupun
para pendukung pembelajaran SETS selalu menekankan pentingnya perubahan standar
atau kurikulum, pada artikel ini, tidak akan dibahas pendidikan berbasis
salingtemas yang memer lukan penyesuaian standar isi. Pembelajaran salingtemas
hanya akan dibahas dalam konteks me tode atau model pembelajaran, untuk
mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan dalam
kurikulum yang ada. Dengan demikian, semangat dalam penerapan pembelajaran
berbasis SETS yang diangkat dalam artikel ini hanyalah untuk tujuan melek
sains, atau tujuan pe ningkatan motivasi dan pe mahaman peserta didik dalam
pembelajaran sains, atau paling jauh bisa mewarnai penyusunan kurikulum di
tingkat satuan pendidikan.
a. Prinsip-prinsip pembelajaran
1.
Berpusat pada peserta didik
2.
Mengembangkan kreativitas peserta didik
3.
Suasana yang menarik, menyenangkan, dan bermakna
4.
Mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai dan makna
5.
Belajar melalui berbuat, peserta didik aktif berbuat.
6.
Menekankan pada penggalian, penemuan, dan penciptaan.
7.
Pembelajaran dalam situasi nyata dan konteks sebenarnya
8.
Menggunakan pembelajaran tuntas di sekolah
b. Langkah-langkah atau prosedur pembelajarannya
Penerapan
PAIKEM dalam Proses Pembelajaran
Secara garis besar, PAIKEM dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang
mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar
melalui berbuat.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan
berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan
sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan
cocok bagi siswa.
3. Guru mengatur kelas dengan memajang
buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
4. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif,
termasuk cara belajar kelompok.
5. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu
masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan
lingkungan sekolahnya.